Aku lelah mengarungi sensasi. Aku lelah mengikuti emosi. Aku lelah bermain hati.
Aku tak ingin lagi melawan arus. Aku tak mau lagi berenang ke tengah samudra.
Aku akan selalu mengingat keluhan ini! keluhan yang menandakan bahwa aku hanya manusia biasa yang tak banyak daya.
Silahkan menuduhku pecundang, munafik,atau lebih dari pada itu!
Itu lebih baik daripada sekedar terseok-seok mencari apa yang di inginkan hatiku.
Aku tak mungkin menaiki perahu yang lain, karna satu kakiku masih menancap di perahu yang lainnya.
Ku akui semua keteledoranku .
Ku akui semua keterlaluanku.
Ku akui semua keterlenaanku.
Ku akui semua kebodohanku.
Perubahan tak berarti menggantikan.
Perubahan tak berarti menghilangkan.
Perubahan tak berarti menghanyutkan.
Perubahan tak berarti melupakan.
Yach! aku akan berhenti berkelana mencari sesuatu yang tak pasti ku butuhkan.
Ku akan kembali pada wujudku tanpa topeng sakit hati yang merubah kejujuranku.
Tuesday, April 28, 2009
Wednesday, April 22, 2009
Ia pergi setelah aku kembali.
Aku memeluk erat tubuhnya yang kurus. Dan ku pastikan hatiku telah ikhlas melakukannya.
"Apa kabarmu Neng?" Bisikku sambil ku elus pundaknya .
"Ya beginilah Nis..' Jawabnya lesu.
Kulepaskan pelan pelukanku. Ku tatap matanya yang redup menunduk. Ku arahkan pandanganku ke sosok di gendonganya. Bayi itu tersenyum nyengir padaku. Memamerkan dua giginya yang baru tumbuh. Ku lihat lagi wajah Neneng yang memerah.
"Loh baru pulang kok di suguhi tangisan seh?" Candaku menghiburnya. Walau aku tak tahu persis suasana yang ada di hatinya, paling tidak aku sedikit bisa menerka, kenapa Ia ingin menangis saat bertemu denganku.
Perpisahanku sendiri dengannya, juga dengan kampung halaman ini, kurang lebih telah terlewati selama tiga tahun sudah. Tak ada sebab maka tak mungkin akibat terjadi. Begitulah pepatah mengatakan.
Sebelumnya.., hubunganku dengan Neneng adalah Teman karib. Seorang sahabat yang melebihi saudara kandung, mungkin bisa di katakan seperti itu. Tidak hanya kebersamaan saat masa kecil, dari SD sampe SMP, dari tidur sampe makanpun, aku takkan bisa melakukanya jika tanpa dia berada di sampingku. Begitu pula sebaliknya.
Namun...semua berbalik arah. Setelah aku mempunyai teman dekat. Teman yang lebih dekat di hatiku daripadanya. Mulanya, kukira tak ada lagi teman yang lebih dekat selain Neneng sahabatku ini. Dia pun tahu aku telah di bakar api asmara. Dia pun mendukung, bahkan dengan setia dialah "baigon"ku. Dan selalu setia ku ajak menemaniku saat bertemu Cowok tetangga kampung yang ku sebut sebagai Pacar itu.
Tapi hubungan itu akhirnya kandas sebelum sampe di ujung jalan. Orangtua cowok itu tahu , kalau Anak Lelaki nya sedang berhubungan lebih denganku . Mulanya aku tak bisa mengerti, karna kalau di nilai dari materi. Keluargaku tak sebegitu jauh di bawah keluarganya.
Dan... betapa kerdilnya aku seketika itu, saat mendengar dari mulut Neneng. Kalau keluarganya tidak mengijinkan Anaknya berhubungan denganku, karna latar belakang orangtuaku. Ibuku di sebut-sebut sebagai pelacur oleh orang-orang kampung.
Berbulan-bulan aku seperti tak bisa menerima kenyataan. Sampai types semakin membuatku tak berdaya. Neneng pun setia menemaniku. Karna Ibuku jauh berada di luar pulau. Dan Ayah sendiri, memang tak begitu luwes dalam merawatku saat sakit.
Demi sebuah titah, aku mulai menyadari. Bahwa apapun di dunia ini, yang ku sayang belum tentu itu yang terbaik dan bisa ku miliki. Neneng pun bilang begitu. Sampai kita lulus SMA.
Ibuku memintaku mengikutinya ke Mataram. Kuliah di sana. Kata Ibu, Beliau ingin dekat denganku, dan bisa menjagaku. Saat ku minta "kenapa Ibu tidak pulang saja ke kampung ini? bersamaku? menjagaku juga Ayah?" Saat ku layangkan pertanyaan itu, Ibu hanya menunduk . Dan meninggalkanku tanpa jawaban. Selain kebekuan hati yang menggondok di dadaku.
Tapi...akhirnya ku ikuti saran Ibu, selain itu, aku ingin meninggalkan semua mimpi buruk ini. Dan..., tak lupa aku pamit pada Mantanku. Kita bertemu di sebuah pohon kecil di pinggir sungai.
"Nis, aku tak bisa berpisah denganmu! aku tetap akan menikah denganmu! kalau tidak aku takkan bisa hidup!!" Katanya sambil memelukku. Ku bungkam mulutnya. Karna aku miris mendengar kata2nya.
"Aku tak ingin mendengar itu Di.." Akupun mulai menangis melepas rasa yang campur aduk di hatiku. Antara kerinduan dan tak tega meninggalkannya.
"Aku sudah bilang sama orangtuaku Nis, aku tak mau di halangi!" Lanjutnya dengan terus menatap tajam menerjang mendung di mataku. Kutatap balik matanya yang juga membasah. Kami tak bisa berkata-kata lagi. Tiba-tiba...
"Apa-apaan Di? aduh gimana seh?" Aku panik saat ku lihat darah mulai menetes dari lengannya.
"Nis, kita satukan darah kita sebagai sumpah, kita takkan berpisah!" Pintanya. Aku diam sejenak. Menatapnya lebih dalam. Dan... pelan, ku cucup darah yang keluar dari lenganya. Mungkin sangat mengerikan jika ada yang melihat kejadian itu. Tapi kurasakan keharuan dan cinta yang begitu mendalam saat ku tempelkan mulutku menyedot sedikit darah itu. Dan....
"Akh!" aku menjerit. Adi telah menggoreskan cutternya di lenganku juga. Darahku mengalir, karna robekan cutter itu cukup lebar. Adi segera melakukan hal yang sama yang tadi aku lakukan. Lalu dengan kasih sayang dia segera menyobek kain kaosnya, dan membalutkannya di lenganku. Tak sedikitpun kurasakan perih. Yang ada hanya rasa melayang yang sebelumnya tak pernah ku rasakan.
Itulah pertemuan terakhirku dengan Adi. Berbalut ikrar untuk tetap menyatukan hati. Dengan cutter itu, aku dan dia menggoreskan simbul "love' di sebuah batang pohon jambu air di situ. Hingga suatu pagi aku harus pergi. Neneng dan juga Adi mengantarku sampai bandara. Sedangkan Ayah tak ikut di rombongan itu, karna Ayah telah pergi dari semalam meninggalkan rumah. Mungkin Ayah kecewa karna Ibu membawaku.
two years ego..
Aku pulang ke kampung halaman ini. Orang yang paling ku rindukan adalah Ayah dan adik, setelah itu Adi dan Neneng. Betapa rasa kangen itu hampir meledak, di sebabkan hubungan kami terpaksa terputus akhir-akhir ini.
Aku segera lari ke rumah neneng yang tak seberapa jauh dari rumahku. Ku panggil namanya saat masih di pelataran. Akhirnya sampai juga aku di ambang pintunya. Tapi.... betapa kagetnya aku, yang ku temui pertama kali justru Adi. Aku bingung di antara tak percaya dan terkesima. Aku segera memeluknya, saat dia juga memanggil namaku. Tak peduli tempat tak peduli suasana.
Tapi suka cita itu segera lebur bersama teriakan Ibunya Neneng. Atau yang biasa ku panggil Bu lik. Dia menghardikku keras-keras, sampai para tetangga pun mendengarnya.
"Dasar Lonte! kayak ibunya! sana kalau kamu mau sama suami orang! kamu ngondol saja di komplek!!"
Seketika itu, Adi melepaskan pelukanya juga. Aku masih tak mengerti.
Lalu kulihat Neneng yang keluar dari kamarnya dengan perut buncit terbalut daster. Dia juga kaget melihatku terpaku. Aku masih tak mengerti apa yang terjadi. Atau mungkin akulah yang tak mau mengerti tentang semua itu.
Aku lari sekuatnya. Tubuhku rasanya hanya ada kepala saja yang menancap tanpa tenaga. Dan sejak saat itu, tak lagi menunggu malam, aku segera menelpon Ibu, untuk menjemputku. Aku pun kembali ke Mataram dengan luka-luka sayatan yang tak pernah mau mengering.
Three years leter...
Aku sudah mengikhlasnya. Mulanya karna aku lelah memikirkanya. Lama-lama aku benar-benar melepaskannya. Aku menginjakkan kembali kampung ini. Rumahkupun telah rapuh setelah lima tahun tak menikmati sapuan tanganku.
" Nis, maafkan aku..." Neneng mengguguk. Aku menengadahkan wajahnya tepat ke arahku.
"Aku sudah ikhlas Neng, percayalah... " Tak hentinya aku tersenyum menggambarkan pelangi di hatiku. Dia semakin menangis, sampe bayinyanya pun ikut menangis.
"Sudah...sudah..." Ku tepuk bahunya dan kembali kupeluk dirinya. " Ini anak kedua kalian ya?" Tanyaku kemudian, berusaha mengalihkan suasana sedih itu. Ia mengangguk.
"Tapi..., tapi Adi... " Tangisnya semakin pecah.
"Kenapa dengan Adi Neng? jahat ya? ga sayang ya?" Rajukku. Ia menggeleng.
"Dia telah pergi Nis..."
"Pergi? kemana? meninggalkanmu? hah?! kurang ajar sekali dia? kemana perginya Neng?" Serbuku, yang mulai mengindahkan terkaanku tentang kesedihannya bertemu denganku. Ku kira Ia masih sangat merasa berdosa, seperti dalam surat-surat yang di kirimkanya padaku selama tiga tahun ini. meminta maaf padaku. Karna semua di luar kendalinya. Tapi orang tua merekalah yang memaksakan.
"Ia meninggal dunia Nis! Ia sengaja bunuh diri! " Jawabnya tak ubahnya petir yang menyambar batok kepalaku. Dan kurasakan hanya kilatanya saja yang menjilatku hingga punah. Aku tak kuasa. Dunia tak lagi bercahaya ku rasa.
Dia meninggalkanku selamanya! sebelum permintaan maaf di ucapkannya langsung dari bibirnya padaku..! Adi.. aku ingin kau meminta maaf padaku! kenapa kau cepat meninggalkanku sebelum kau melihatku tersenyum di hari ini?" Jeritku dalam kebekuan.
"Apa kabarmu Neng?" Bisikku sambil ku elus pundaknya .
"Ya beginilah Nis..' Jawabnya lesu.
Kulepaskan pelan pelukanku. Ku tatap matanya yang redup menunduk. Ku arahkan pandanganku ke sosok di gendonganya. Bayi itu tersenyum nyengir padaku. Memamerkan dua giginya yang baru tumbuh. Ku lihat lagi wajah Neneng yang memerah.
"Loh baru pulang kok di suguhi tangisan seh?" Candaku menghiburnya. Walau aku tak tahu persis suasana yang ada di hatinya, paling tidak aku sedikit bisa menerka, kenapa Ia ingin menangis saat bertemu denganku.
Perpisahanku sendiri dengannya, juga dengan kampung halaman ini, kurang lebih telah terlewati selama tiga tahun sudah. Tak ada sebab maka tak mungkin akibat terjadi. Begitulah pepatah mengatakan.
Sebelumnya.., hubunganku dengan Neneng adalah Teman karib. Seorang sahabat yang melebihi saudara kandung, mungkin bisa di katakan seperti itu. Tidak hanya kebersamaan saat masa kecil, dari SD sampe SMP, dari tidur sampe makanpun, aku takkan bisa melakukanya jika tanpa dia berada di sampingku. Begitu pula sebaliknya.
Namun...semua berbalik arah. Setelah aku mempunyai teman dekat. Teman yang lebih dekat di hatiku daripadanya. Mulanya, kukira tak ada lagi teman yang lebih dekat selain Neneng sahabatku ini. Dia pun tahu aku telah di bakar api asmara. Dia pun mendukung, bahkan dengan setia dialah "baigon"ku. Dan selalu setia ku ajak menemaniku saat bertemu Cowok tetangga kampung yang ku sebut sebagai Pacar itu.
Tapi hubungan itu akhirnya kandas sebelum sampe di ujung jalan. Orangtua cowok itu tahu , kalau Anak Lelaki nya sedang berhubungan lebih denganku . Mulanya aku tak bisa mengerti, karna kalau di nilai dari materi. Keluargaku tak sebegitu jauh di bawah keluarganya.
Dan... betapa kerdilnya aku seketika itu, saat mendengar dari mulut Neneng. Kalau keluarganya tidak mengijinkan Anaknya berhubungan denganku, karna latar belakang orangtuaku. Ibuku di sebut-sebut sebagai pelacur oleh orang-orang kampung.
Berbulan-bulan aku seperti tak bisa menerima kenyataan. Sampai types semakin membuatku tak berdaya. Neneng pun setia menemaniku. Karna Ibuku jauh berada di luar pulau. Dan Ayah sendiri, memang tak begitu luwes dalam merawatku saat sakit.
Demi sebuah titah, aku mulai menyadari. Bahwa apapun di dunia ini, yang ku sayang belum tentu itu yang terbaik dan bisa ku miliki. Neneng pun bilang begitu. Sampai kita lulus SMA.
Ibuku memintaku mengikutinya ke Mataram. Kuliah di sana. Kata Ibu, Beliau ingin dekat denganku, dan bisa menjagaku. Saat ku minta "kenapa Ibu tidak pulang saja ke kampung ini? bersamaku? menjagaku juga Ayah?" Saat ku layangkan pertanyaan itu, Ibu hanya menunduk . Dan meninggalkanku tanpa jawaban. Selain kebekuan hati yang menggondok di dadaku.
Tapi...akhirnya ku ikuti saran Ibu, selain itu, aku ingin meninggalkan semua mimpi buruk ini. Dan..., tak lupa aku pamit pada Mantanku. Kita bertemu di sebuah pohon kecil di pinggir sungai.
"Nis, aku tak bisa berpisah denganmu! aku tetap akan menikah denganmu! kalau tidak aku takkan bisa hidup!!" Katanya sambil memelukku. Ku bungkam mulutnya. Karna aku miris mendengar kata2nya.
"Aku tak ingin mendengar itu Di.." Akupun mulai menangis melepas rasa yang campur aduk di hatiku. Antara kerinduan dan tak tega meninggalkannya.
"Aku sudah bilang sama orangtuaku Nis, aku tak mau di halangi!" Lanjutnya dengan terus menatap tajam menerjang mendung di mataku. Kutatap balik matanya yang juga membasah. Kami tak bisa berkata-kata lagi. Tiba-tiba...
"Apa-apaan Di? aduh gimana seh?" Aku panik saat ku lihat darah mulai menetes dari lengannya.
"Nis, kita satukan darah kita sebagai sumpah, kita takkan berpisah!" Pintanya. Aku diam sejenak. Menatapnya lebih dalam. Dan... pelan, ku cucup darah yang keluar dari lenganya. Mungkin sangat mengerikan jika ada yang melihat kejadian itu. Tapi kurasakan keharuan dan cinta yang begitu mendalam saat ku tempelkan mulutku menyedot sedikit darah itu. Dan....
"Akh!" aku menjerit. Adi telah menggoreskan cutternya di lenganku juga. Darahku mengalir, karna robekan cutter itu cukup lebar. Adi segera melakukan hal yang sama yang tadi aku lakukan. Lalu dengan kasih sayang dia segera menyobek kain kaosnya, dan membalutkannya di lenganku. Tak sedikitpun kurasakan perih. Yang ada hanya rasa melayang yang sebelumnya tak pernah ku rasakan.
Itulah pertemuan terakhirku dengan Adi. Berbalut ikrar untuk tetap menyatukan hati. Dengan cutter itu, aku dan dia menggoreskan simbul "love' di sebuah batang pohon jambu air di situ. Hingga suatu pagi aku harus pergi. Neneng dan juga Adi mengantarku sampai bandara. Sedangkan Ayah tak ikut di rombongan itu, karna Ayah telah pergi dari semalam meninggalkan rumah. Mungkin Ayah kecewa karna Ibu membawaku.
two years ego..
Aku pulang ke kampung halaman ini. Orang yang paling ku rindukan adalah Ayah dan adik, setelah itu Adi dan Neneng. Betapa rasa kangen itu hampir meledak, di sebabkan hubungan kami terpaksa terputus akhir-akhir ini.
Aku segera lari ke rumah neneng yang tak seberapa jauh dari rumahku. Ku panggil namanya saat masih di pelataran. Akhirnya sampai juga aku di ambang pintunya. Tapi.... betapa kagetnya aku, yang ku temui pertama kali justru Adi. Aku bingung di antara tak percaya dan terkesima. Aku segera memeluknya, saat dia juga memanggil namaku. Tak peduli tempat tak peduli suasana.
Tapi suka cita itu segera lebur bersama teriakan Ibunya Neneng. Atau yang biasa ku panggil Bu lik. Dia menghardikku keras-keras, sampai para tetangga pun mendengarnya.
"Dasar Lonte! kayak ibunya! sana kalau kamu mau sama suami orang! kamu ngondol saja di komplek!!"
Seketika itu, Adi melepaskan pelukanya juga. Aku masih tak mengerti.
Lalu kulihat Neneng yang keluar dari kamarnya dengan perut buncit terbalut daster. Dia juga kaget melihatku terpaku. Aku masih tak mengerti apa yang terjadi. Atau mungkin akulah yang tak mau mengerti tentang semua itu.
Aku lari sekuatnya. Tubuhku rasanya hanya ada kepala saja yang menancap tanpa tenaga. Dan sejak saat itu, tak lagi menunggu malam, aku segera menelpon Ibu, untuk menjemputku. Aku pun kembali ke Mataram dengan luka-luka sayatan yang tak pernah mau mengering.
Three years leter...
Aku sudah mengikhlasnya. Mulanya karna aku lelah memikirkanya. Lama-lama aku benar-benar melepaskannya. Aku menginjakkan kembali kampung ini. Rumahkupun telah rapuh setelah lima tahun tak menikmati sapuan tanganku.
" Nis, maafkan aku..." Neneng mengguguk. Aku menengadahkan wajahnya tepat ke arahku.
"Aku sudah ikhlas Neng, percayalah... " Tak hentinya aku tersenyum menggambarkan pelangi di hatiku. Dia semakin menangis, sampe bayinyanya pun ikut menangis.
"Sudah...sudah..." Ku tepuk bahunya dan kembali kupeluk dirinya. " Ini anak kedua kalian ya?" Tanyaku kemudian, berusaha mengalihkan suasana sedih itu. Ia mengangguk.
"Tapi..., tapi Adi... " Tangisnya semakin pecah.
"Kenapa dengan Adi Neng? jahat ya? ga sayang ya?" Rajukku. Ia menggeleng.
"Dia telah pergi Nis..."
"Pergi? kemana? meninggalkanmu? hah?! kurang ajar sekali dia? kemana perginya Neng?" Serbuku, yang mulai mengindahkan terkaanku tentang kesedihannya bertemu denganku. Ku kira Ia masih sangat merasa berdosa, seperti dalam surat-surat yang di kirimkanya padaku selama tiga tahun ini. meminta maaf padaku. Karna semua di luar kendalinya. Tapi orang tua merekalah yang memaksakan.
"Ia meninggal dunia Nis! Ia sengaja bunuh diri! " Jawabnya tak ubahnya petir yang menyambar batok kepalaku. Dan kurasakan hanya kilatanya saja yang menjilatku hingga punah. Aku tak kuasa. Dunia tak lagi bercahaya ku rasa.
Dia meninggalkanku selamanya! sebelum permintaan maaf di ucapkannya langsung dari bibirnya padaku..! Adi.. aku ingin kau meminta maaf padaku! kenapa kau cepat meninggalkanku sebelum kau melihatku tersenyum di hari ini?" Jeritku dalam kebekuan.
Monday, April 20, 2009
Ku bersedih tanpa sebab
Pagi dengan semburat cahaya mentari yang menghangat. ku bersedih tanpa sebab yang pasti. Satu minggu ini memang pekerjaanku full, sebagai manusia yang punya keterbatasan tenaga, bekerja 16 jam perhari menggunakan tenaga tangan dan kaki, memang cukup membuatku kelelahan. Dan pagi ini.... tiba-tiba berlintasan wajah-wajah orang yang kucintai namun mengkhianatiku. Orang-orang yang pernah mematahkan semangatku dan merapuhkan ketegaranku.
Aku menyesali kebodohanku, yang memikirkan orang lain di atas kepentinganku. Kini tak ada yang satu pun mereka yang tahu, tetes-tetes peluh membasahi pori-poriku. Dan pagi ini.... Bukan hanya peluh saja yang menetes, tapi airmatakupun jatuh tanpa ku sadari. Dan semakin deras kala tanganku sepertinya enggan untuk mengemban tugasnya.
Sampai akhirnya aku lari ke lantai atas, yang seminggu ini tak ada waktu lagi ku bersua dengan senja. Aku membuang nafas berat berkali-kali, menariknya pelan. Tapi dadaku terasa sesak sekali. Aku harus menangis!!!.
Setelah sepuluh menitan, ku guyur kepalaku dengan air yang terpancur dari kran air yang biasa kubuat untuk menyiram bunga. Dan sebisa mungkin, ku sembunyikan sembab yang membekas di lingkaran lelah mataku. Tak perlu siapapun tahu. Karna memang tak kan ada yang mau tahu.
Sesaat ku pandang ke langit cerah. Ku tersenyum padanya. Mendung tak berarti hitam...!!! Hidup juga bukan hanya untuk di khayal!!! Yuni... kau lebih beruntung dari banyak wanita-wanita lain yang lebih malang darimu!!! AKU TERSENYUM. Kuakhiri kesah dengan memaksakan tersenyum untuk menghibur diri dalam kehampaan hari.
Aku menyesali kebodohanku, yang memikirkan orang lain di atas kepentinganku. Kini tak ada yang satu pun mereka yang tahu, tetes-tetes peluh membasahi pori-poriku. Dan pagi ini.... Bukan hanya peluh saja yang menetes, tapi airmatakupun jatuh tanpa ku sadari. Dan semakin deras kala tanganku sepertinya enggan untuk mengemban tugasnya.
Sampai akhirnya aku lari ke lantai atas, yang seminggu ini tak ada waktu lagi ku bersua dengan senja. Aku membuang nafas berat berkali-kali, menariknya pelan. Tapi dadaku terasa sesak sekali. Aku harus menangis!!!.
Setelah sepuluh menitan, ku guyur kepalaku dengan air yang terpancur dari kran air yang biasa kubuat untuk menyiram bunga. Dan sebisa mungkin, ku sembunyikan sembab yang membekas di lingkaran lelah mataku. Tak perlu siapapun tahu. Karna memang tak kan ada yang mau tahu.
Sesaat ku pandang ke langit cerah. Ku tersenyum padanya. Mendung tak berarti hitam...!!! Hidup juga bukan hanya untuk di khayal!!! Yuni... kau lebih beruntung dari banyak wanita-wanita lain yang lebih malang darimu!!! AKU TERSENYUM. Kuakhiri kesah dengan memaksakan tersenyum untuk menghibur diri dalam kehampaan hari.
Sunday, April 12, 2009
i love my bobo
Hari ini aq baru aja pulang liburan, badan lelah karna dr jalan-jalan nemenin teman shoping, padahal shoping adalah kegiatan yg paling aq tidak suka. Setelah masuk rumah, betapa kagetnya aq, setelah mendapati nenek{bobo}mjk ku, sudah dengan keadaan tangan di gendong, dan bibir jontor, bahkan sebagian wajahnya yang keriput itu , ada luka-luka kecil menggores.
Aku langsung panik dan menghujaninya pertanyaan.
"Bobo..timkai a..?? timkai wui kam yong a..." Aku benar2 panik, sampe ingin menangis.
"Tik to la Asih, ngo wan lei emto, ngo mbe jikei dai isang o..." Jawabnya yang artinya, { aq jatuh, asih.., aq tak bisa menghubungimu, makanya aq pergi ke dokter sendiri.
Aku langsung meemluknya, hatiku begitu menyesal. Padahal biasanya sebelum pulang jam 7 malam, aq musti telpon Bobo menanyakan mau makan apa, ato apa..!
Oh Bobo..., beliau telah berusia 81 th, menyayangiku, sering membantu pekerjaanku jika aq tak ada waktu mengerjakannya.
"Tu em ci Bobo...." Berkali-kali aq minta maaf, dia hanya tersenyum dan bilang," Iya Asih, orang tua memang ngrepotin ya, sebenarnya lebih awal pergi ke alam baka, itu lebih baik ya..!"
" Timkai lei kem kong a..?" Tanyaku kenapa Ia bicara begitu. Beliau justru ber filusufi.
"Kamu dengar pepatah cina Asih? umur 50 ke atas, bahwa satu kakinya telah berada di pinggir kubur??"
Degggg!!! Aku hanya menatapnya. Lalu beliau menertawakan aq... " He..he... Kamu juga siap-siap Asih..."
Aku langsung panik dan menghujaninya pertanyaan.
"Bobo..timkai a..?? timkai wui kam yong a..." Aku benar2 panik, sampe ingin menangis.
"Tik to la Asih, ngo wan lei emto, ngo mbe jikei dai isang o..." Jawabnya yang artinya, { aq jatuh, asih.., aq tak bisa menghubungimu, makanya aq pergi ke dokter sendiri.
Aku langsung meemluknya, hatiku begitu menyesal. Padahal biasanya sebelum pulang jam 7 malam, aq musti telpon Bobo menanyakan mau makan apa, ato apa..!
Oh Bobo..., beliau telah berusia 81 th, menyayangiku, sering membantu pekerjaanku jika aq tak ada waktu mengerjakannya.
"Tu em ci Bobo...." Berkali-kali aq minta maaf, dia hanya tersenyum dan bilang," Iya Asih, orang tua memang ngrepotin ya, sebenarnya lebih awal pergi ke alam baka, itu lebih baik ya..!"
" Timkai lei kem kong a..?" Tanyaku kenapa Ia bicara begitu. Beliau justru ber filusufi.
"Kamu dengar pepatah cina Asih? umur 50 ke atas, bahwa satu kakinya telah berada di pinggir kubur??"
Degggg!!! Aku hanya menatapnya. Lalu beliau menertawakan aq... " He..he... Kamu juga siap-siap Asih..."
Subscribe to:
Posts (Atom)