Wednesday, May 27, 2009

Bila Lidah Berdusta

Kutatap matanya dengan tatapan menerkam. Ku pastikan jika aku tak selemah dulu. Dan mudah percaya dengan semua kecohan matanya yang meyakinkan.

"Pa, sekarang aku telah di depanmu, ku peringatkan padamu untuk jujur padaku!"
Kataku yang sengaja ku buat sebegitu ber wibawanya. Meski aku tahu ini buka sifatku! Namun, tak ada salahnya juga mencoba resep temanku untuk tegas meghadapi sosok Lelaki yang suka berkelit seperti Lelaki di depanku ini.

Ia masih diam menunduk. Tak seperti biasanya yang tajam menatapku dan tajam pula Ia megatakan sesuatu padaku tentang alasan-alasannya setiap melakukan kesalahan.

"Masih adakah janji yang engkau tinggalkan pada Wanita-wanitamu di luaran sana? Aku ingin kita bersih dari semua bangkai-bangkai tersembunyi dalam hati kita Pa! Aku tak ingin lagi ada ledakan yang lebih dahsyat di belakang nanti! Saya harap kita bisa terbuka, dan jantan mengakui semua kesalahan! juga jantan menerima keputusan dari masing-masing pihak!" Kataku lagi, bak kata-kata jaksa penuntut umum di pengadilan.

Ia sekilas menatapku. Tak kutemukan lagi tatapan yang dulu sering menjatuhkanku dalam kubangan kepedihan, penyesalan mempercayainya, dan akhirnya hanya pasrah menerima semuanya dengan embel-embel lapang dada.

Hatiku mulai melunak, aku tak yakin dengan cara kerasku menggertaknya untuk mau meninggalkan kebiasaannya berbohong. Bagaimanapun aku selalu menghormatinya dan menempatkan diri dan derajatnya di atasku. Aku hanya ingin merubah sifat-sifatnya! tapi aku ini siapa? berhakkah aku merubah sifat siapapun?... batinku mulai berpentalan membentuk ritmik seperti ritmik bola basket yang di lempar ke lantai. Mulanya terpental di ketinggian, semakin lama semakin rendah...rendah...dan akhirnya berhenti di telapak kaki Sang pemain bola.

"Pa, jawablah! bicaralah? tegakah engkau melukaiku selamanya? apa hak engkau membuatku begini?! Kenapa kau menyiksaku dengan semua kebohonganmu?! " Aku mulai bersimpuh dalam keputus asaan. Aku benci dia dalam batas-batas cintaku yang terjauh.

"Aku tak ingin lagi menjawab semua pertanyaanmu Ma!"
Jawabnya terkesan mengindahkan semua permohonanku.

Aku menatapnya lagi. Kali ini Ia juga menatapku. Dan aku selalu tak mampu menembus kedalaman relung matanya. Mengartikan tatapannya. Dan menemukan jawaban atas semua keraguanku tentang semua yang di katanya.

"Kalau begitu , Kau menantangku! aku tak mau menangis lagi! tak mau memohon lagi agar engkau berhenti berdusta! aku hanya ingin kejujuranmu! agar hatiku tenang, tak selalu di bayangi oleh perasaan cemburuku pada wanita-wanitamu sebelum aku kembali di rumah ini! aku tak mampu lagi mengulang rasa seperti itu di malam-malamku Pa..! saya mohon..!"
Kali ini ketegaranku gugur. Ku biarkan airmataku menetes semaunya. Aku tak akan lagi berusaha mengusapnya. Dan berusaha menyembunyikannya.

"Ma...! kamu tak ingin aku mendustaimu kan?" Kata suamiku lagi. Pernyataannya itu mampu mengusik hatiku yang sulit mempercayainya. Sejenak, aku diam mencerna kata-katanya. Dan ku rasa sebait kata yang di ucapkannya itu bukanlah sebuah alasan. Tapi sebuah per tanyaan balik, kenapa Ia beralasan dan berdusta. Aku mulai mengajak hatiku untuk mau mendengarkan apa yang akan di katakan suamiku selanjutnya. Aku diam. Dan ku isyaratkan akalu aku sedang mendengarkannya dan mempercayainya.

"Ma..! hatimu tahu bagaimana hatiku mencintaimu! bagaimana jiwaku rapuh bila aku mendapati diriku melukaimu! aku tak menginginkan itu! apa kamu kira aku tertawa di balik tangismu? Jika kamu tahu, tangisku lebih deras dari yang kau uraikan!" Kembali Ia melontarkan kata-kata, sebelum aku sempat menjawab apapun atas pertanyaannya tadi. Ku pandangi wajahnya dengan seksama. Ucapanya terdengar begitu tajam walau tertahan. Ku lihat urat lehernya seperti sedang menahan satu beban aliran ucapan-ucapanya.

Aku masih diam memaku.

"Tapi kenapa kamu selalu memberiku kesempatan untuk berbuat kesalahan? kenapa kamu tidak meyadari apa yang ku butuhkan sebenarnya? kenapa kamu hanya menyalahkaku, dan membuatku takut kehilangan dirimu?!" Kali ini ku dengar suaranya meluruh. Dan ku lihat nyata tetesan air matanya. Dia menangis?... Pikirku sedikit galau.

"Aku menyalahkanmu? Aku tak tahu yang kau butuhkan? " Jawabku yang kurang mengerti arah pembicaraannya. Selama ini aku merasa selalu mengalah, menghormatinya, dan memberi semua cintaku padanya. Dengan hati tulus dan iklhas. Ada apa ini?? ... Hatiku mulai merangkai pertanyaan-pertanyaan yang siap ku lemparkan padanya.

"Berhentilah mencurigaiku, berhentilah berpikir bahwa aku selalu berdusta padamu! karna jika kamu selalu begitu, aku akan merasa diriku seperti itu!" Sekali lagi Ia melontarkan kata-kata yang sanggup menegangkanku.

Aku mulai berpikir dengan permohonanya. Mempertimbangkan aturannya. Walau aku masih tidak yakin jika Ia berhenti berdusta.

Beberapa malam aku renungkan. Aku telusuri semua ganjalan masalahku dengan suamiku selama ini. Banyak hal-hal yang harus ku jawab dari pertanyaanku sendiri. Kenapa aku selalu merasa Ia yang selalu bersalah? dan selalu mendustaiku? Benarkah aku terlalu mencurigainya?...

Di suatu malam setelah kira-kira satu minggu paska pertengakaran kecilku dengan suamiku. Aku tertuntun untuk masuk ke dalam kamar tidurnya selama ku tingalkan rumah ini. Masih dalam rangka mencari-cari jawaban tepat untuk memuaskan hatiku.

Hanya ku dapati sepucuk surat yang terlipat rapi di atas meja lampu di sisi ranjang. Aku duduk di tepi dipan yang masih terasa ada bau khas keringat suamiku itu dengan hati berdebar. Ku raih lipatan kertas yang bisa ku baca dengan terang namaku tertulis di sana. "Surat ini untukku?"
Aku mulai membacanya...

Untukmu Istriku...
Maafkan sebelum dan sesuadah kau baca isi surat ini. Dariku yang sudah begitu membuat banyak kesalahan padamu. Dan berharap maafmu tak ada batas untuk diriku Sang Pendusta di matamu ini.

Istriku...
tak kusalahkan dirimu yang mungkin tak lagi percaya padaku! hanya saja... ku ingin kau mengerti rasa yang pernah ku rasakan tentang hati dan cintaku padamu. Meninggalkan itu mungkin lebih mudah dari di tinggalkan Istriku...! itu perasaanku selama ini. Kini.., aku akan mencoba merasakan perasaan yang pernah kau lewati selama meninggalkanku. Agar aku juga mengerti pengharapanmu tentang pengertianku padamu. Sayang..., aku tak bisa memaksamu untuk memaafkanku, dan aku tak juga bisa berjanji banyak padamu, karna aku takut mengingkarimu. Yang ingin ku sampaikan adalah, bahwa aku sangat mencintaimu, dan aku sangat tahu jika aku tak bisa hidup tanpa ada kamu di sisi aku!
Dariku Lidah pendusta

Ku genggam erat surat itu dan aku mulai mencari-cari sosok suamiku. "Iya aku percaya sayang..iya aku percaya..." Hatiku tak hentinya memanggil. Saat itu aku benar-benar mengerti bahwa maaf dan sabar itu tidaklah terbatas. Yang membatasi maaf dan sabar hanyalah ketamakan dan ke angkuhan hati. Sabar itu ke pasrahan, dan maaf itu adalah ke ikhlasan.

" Aku ingin menatap matamu saat ini juga! aku ingin memastikan bahwa engkau tidak berdusta! kenapa tidak dari dulu engkau mau dengan besar hati mengakui kesalahanmu seperti ini? kenapa tidak dari dulu engkau tak suka beralasan yang sering tak masuk akal? kenapa baru sekarang kamu mengerti apa yang di inginkan hatiku tentang sebuah pengakuan atas setiap kesalahan? Aku juga manusia, aku juga pendosa! aku mengerti..! maafkan aku yang tak mau memberi kesempatan pada hatiku untuk mengerti dirimu."

~~~~~***~~~~~

"Ma...! " Sebentuk wajah heran memandangku dari bibir pintu.
Aku tergagap dari lamunanku. Ku sadari diriku yang sedang terisak-isak di pinggir taman kecil di belakang rumah. Aku menoleh ke arah suamiku yang berjalan mendekatiku. Namun aku tetap tak bergeming.

Ku usap airmata yang masih mengalir tanpa ku sadari. Ternyata aku baru saja melamun. "Gila! aku melamun sampai sedemikian sempurnanya! halusinasiku begitu jelas mengilustrasikan endapan-endapan perasaanku!"

"Ma, masih marah ya? maafkan Papa Ma..!" Kata suamiku lembut merangkul bahuku dan mengelusnya.

Aku tetap diam. Alam pikiranku masih terpengaruh dengan lamunanku barusan. Dan sebenarnya tangisanku ini bukan karena aku masih marah dengannya. Semalam , kami memang sempat terlibat pertengkaran kecil. Di karenakan Dia yang selalu begitu dan begitu! tak mau menjawab setiap pertanyaan-pertanyaan kenapa dan mengapa yang ku ajukan setiap ku rasa Dia ada kesalahan. Dan aku kecewa dengan diamnya.

Aku mencoba menutupi ke gelianku atas lamunan yang telah membuatku menangis sesenggukan ini dari suamiku. Aku masih diam. Dan ku biarkan Dia menerka-nerka atas tangisanku ini. Meski sebenarnya dalam hati aku sangat geli dengan kekonyolanku sendiri. Hanya saja, aku mungkin malu untuk mengakuinya. Dan menurutku, ini kesempatan untuk memancing perasaan yang tersembunyi di hatinya." Adakah yang akan Dia katakan setelah ini?" Hatiku mulai menunggu jawaban.

"Ma, aku takut sekali setiap membuatmu menangis seperti ini..! dari tadi aku mengawasimu , kulihat kamu marah dan begini..! maafkan aku Ma...! Maafkan..!"

Ku tatap matanya yang redup menyiratkan kejujurannya. Ku balikkan badanku dan ku peluk dirinya erat. Aku tak ingin Dia meninggalkanku seperti dalam lamunanku tadi. Aku tak ingin merasakan rasa penyesalan seperti itu lagi. Tak bisa ku katakan apapun di pelukannya. Hanya hatiku yang menyambugkan perasaan ini lewat debarnya.

"Trimakasih Ma..! smoga aku bisa memenuhi perharapanmu tentang perubahan sifatku".

"Tidak Pa, aku juga punya salah, tidak hanya engkau yang harus merubah keburukan-keburukan, tapi diriku juga! kita satu keluarga, tak seharusnya ada curiga dan kekerasan hati untuk tidak memaafkan"

Kami hanya saling berpelukan dalam kedamaian hati. Di mana letak hati pada posisi kerelaan. Karna hidup tak selamanya terlukis indah. Ada kalanya coretan-coretan menyakitkan menjadi pewarna kanvas dalam lukisan kehidupan .

Haruskah kita tunduk pada keangkuhan dan ketamakan yang mengunci ke indahan taman hati dalam memekarkan bunga cinta? Cinta kepada manusia seharusnya tak lebih tinggi dari cinta kita pada Sang pemilik manusia. Dan memaafkan adalah kunci kita mencintai.

Monday, May 25, 2009

Jejak Mimpi

Ku ayunkan pedal sepeda jengkiku dengan hati legowo. Tak lupa kubaca selalu al-iklhas dan membayangkan wajah Ibuku yang tersenyum dan berucap" Nak aku bangga padamu". Kendati aku harus berjauhan dengan beliau, tapi aku yakin doanya selalu terucurahkan kepadaku di setiap waktu! karna aku merasakan itu.

Ku susuri jalanan kampung dengan sepeda ontel pinjaman Bos ku. Demi mengais rezeki dengan jalan yang sebenarnya tak ku inginkan ini. Pekerjaan mencari barang bekas adalah pekerjaan yang sangat tak ku bayangkan sebelumnya, dan tak mudah bagiku menaklukkan diriku sendiri untuk ikhlas menjalaninya.

Berawal dari kepergian Ayah, dan berakhir dengan merosotnya ekonomi keluarga. Dan aku??Ohh!! sepertinya aku belum cukup mampu menjadi tiang bagi usaha yang Ayah rintis, sebelum Beliau beristirahat selamanya meningalkanku dan juga Ibu. "Ayah, salahkah aku menjadi pemulung seperti ini? jika engkau masih di sini, kecewakah engkau padaku Ayah? " Tiba-tiba hatiku di rundung nelangsa yang diam-diam menyerang jiwaku. Namun, wajah Ibu kembali hadir dengan senyumnya yang tulus.

Aku berteriak sedikit keras hari ini, untuk memberitahukan kepada orang-orang kampung yang ingin menukarkan rongsokan mereka dengan uang recehan yang kutawarkan. Hari ini aku bertekad harus mendapatkan penghasilan lebih besar dari kemarin!. Kembali senyum Ibu mengiringiku.

Sampai tengah hari, tak jua ku temukan kepuasan dengan hasil yang telah ku dapatkan. Rasanya masih jauh dari yang ku targetkan sebelum berangkat tadi pagi. Ku lirik keranjangku, dan hanya buku-buku bekas saja yang mengisi seperempat perutnya. Aku mendesah tapi tak bermaksud mengeluh. Karna pantang bagiku mengeluh untuk urusan yang sepele! "Bukankah masih ada setengah hari lagi?" Pikirku menghibur diri.

Aku menghentikan sepedaku di Gardu Pos kamling di pojok kampung. Terasa kering sekali tenggorokan ini memaksaku untuk segera membasahinya. Ku ambil botol minuman mineral yang sengaja aku siapkan. Dan sesaat mataku tertumpu pada buku bekas di perut keranjangku. Aku tertarik untuk membacanya sebentar sebagai teman istirahatku siang ini.

Ku baca judul buku itu. "Think and Grow Rich" . Aku berpikir sejenak mengartikanya. " Berpikir dan menjadi kaya??" Aku tercengang. Tak bisa ku lukiskan betapa aku gembira menemukan buku ini. Ku reguk air putih yang terasa lebih nikmat ini. Perutku yang tadi gemerucuk, tiba-tiba terasa kenyang saja. Aku tersenyum sendiri, rasanya tak sabar aku ingin segera memutasi isi buku ini. "Hmm..., Aaacchhh!!" Kantuk meyerangku tanpa perasaan. Padahal aku masih ingin memburu waktu untuk mengejar target penghasilanku hari ini. Aku menguap lagi dan lagi.....!.

"Allahu akbar..Allahu akbar...!" Seruan Adzan mengagetkanku.

Aku tergagap. Ku dapati diriku sedang bersandar pada dinding Post. "Aku tertidur?" . Aku masih bingung dengan ke adaanku. Setelah beberapa detik kemudian, aku baru sadar, kalau diriku tertidur di tempat ini. Pertama yang aku ingat adalah daganganku. Tak ku dapati sepeda jengkiku yang tadi aku sandarkan tak jauh dari tempatku duduk.

"Hasbunallah.. wanikmal wakil..!". Ku cari sampai ke ujung kampung. Ku tanyakan ke setiap orang adakah yang tahu siapa gerangan yang telah meraibkan sepeda pinjaman Bos ku itu? . Dan... tak satupun ada yang tahu. Aku menyesal kenapa aku tertidur tadi.

Sepanjang jalan pulang, aku berjalan kaki. Namun ada yang mengusik hatiku, tentang mimpi di tidurku tadi. Begitu rekat ku ingat wejangan seorang bijak yang tak ku kenal. Pancaran matanya menatapku penuh makna.

Setelah kujelaskan pada Bos apa yang telah menimpaku. Aku hanya ada satu pilihan, yaitu berhenti bekerja! Bos tidak memarahiku, bahkan tetap memberikan gajiku dan kelebihan sedikit padaku. Sepeda yang hilang itupun tak di perhitungkannya.


"Alhamdulillah....!" Aku bersyukur bisa melewati kesulitan ini. Hanya buku bekas Think and Grow Rich itulah satu-satunya yang ku bawa. Dan berbekal uang gaji sebulan serta pesangon inilah yang kemudian memaksaku untuk berpikir mengambil keputusan. "Haruskah aku pulang? lantas apa yang aku bawa pulang untuk menemui Ibu?" Pertanyaan pertama meghentikan satu langkah kakiku. "Atau aku kembali bertaruh, untuk tetap bertahan dan mencari pekerjaan lain?" Sebersit ide melintas di otakku. Dan hatiku pun menyetujuinya.

"Hasbunallah wanikmal wakil...! Nikmal Maula Wanikman Nasir..!" Ku sebut lagi dan lagi.

Aku mengikuti arah langkahku menuju Halte Bus. Di sinilah aku bertaruh dengan diriku sendiri. "Aku akan naik Bus yang berada paling depan. Jika Bus itu menuju arah ke kotaku,berarti aku harus pulang ke rumah. Dan apabila Bus itu menuju arah kota lain, di situlah aku akan mencari penghidupan .

Bus pertama ku lihat dari kejauhan menuju ke arah ku. Dan aku tak peduli Bus apapun itu namanya, aku tetap akan naik dan mengikuti kemantaban hati saja. "Hasbunallahu wanikmahwakil.., Bismillah.." Aku naik Bus itu dan berdiri berpegangan pada sandaran kursi Bus yang telah penuh oleh penumpang yang lebih dulu naik.

"Assalamualakum Mas, mau kemana neh?" Aku beranikan diri menyapa seseorang yang berada di dekatku.

"Oh Saya mau ke gresik Mas, pulang ke Pondok" Jawabnya sambil tersenyum tipis. "Lah Mas sendiri mau kemana ini?"

"Aku?" Aku bingung menjawabnya. "Aku mungkin juga ke sana" Akhirnya aku menjawab sekenanya.

"Ke Gresik juga ya? mau kuliah apa kerja Mas?" Tanyanya lagi tanpa merasakan sedikitpun kebingunganku.

"Kamunya ke Gresik kuliah pa kerja?" Tanyaku balik menanyainya, untuk sekedar memancingnya agar aku bisa mengorek sedikit tentang Gresik. Dan paling tidak aku bisa mengulur waktu untuk berpikir dan bisa menjawab pertanyaan selanjutnya yang ku perkirakan.
Diapun menceritakan sekelumit kisahnya selama menuntut ilmu di pesantren Mambaus shalihin Gresik.

Sesaat kami berhenti bicara di tengah ramainya para penumpang yang gaduh, dan larut dalam kediaman diri dan pikiran masing-masing. Dan detik itu Ada yang melintas lagi di otakku, yaitu tentang mimpiku kemarin siang.

"Mas Mawan nanti turun di mana?" Tanya pemuda yang memperkenalkan dirinya bernama Arul itu membuyarkan sedikit resahku tentang mimpi yang melekat di hatiku itu.

"Bagaimana kalau aku ikut kamu saja ke pesantren?"

"Ikut Mas? " Arul sedikit heran dengan jawabanku yang tak di sangkanya. Tapi kemudian dia hanya mengangguk saja.

Akhirnya tibalah kami di halaman pesantren yang menurutku sangat mewah ini. Setelah menginjak pelatarannya, aku justru bingung menentukan sikapku.

"Jangan kawatir Mas, aku akan membawa Mas ke pengurus dan Mas bisa secara detail menanyakan informasi apapun tentang pondok ini" Kata Arul yang memang masih 6 tahun di bawah umurku. Dan tak begitu mengerti sama sekali tentang gundahku.

Sesaat aku berdiri ragu di gerbang pesantren, ku lihat mobil yang akan masuk ke dalam pesantren itu. Aku dan Arul segera menyingkir.

"Itu Pak kyai Mas" Kata Arul ku jawab anggukan kepala. Ku lihat Seorang yang berwibawa sedang turun dari mobil tadi, tak jauh dari tempat kami.

Ku ikuti Arul yang berjalan mendekat dan mengucapkan salam pada Sang Kyai yang ramah itu.

"Ini siapa Rul?" Tanya Pak Kyai akrab pada Arul yang kemudian memperkenalkanku dengan sopan.

Tiga hari setelah itu...

Aku beranikan diri meminta ijin untuk menemui Sang Kyai yang kemaren bertemu di pintu gerbang. Entah kenapa, aku punya felling untuk menemuinya. Dan subhanallah, Pak Kyaipun tak keberatan menemuiku secara pribadi. Dan tujuan utamaku adalah menanyakan hal yang seperti terurai dalam mimpiku saat tertidur di poskamling kemaren dulu itu.

Di sebuah ruangan masjid, aku dan Pak Kyai bertemu dan bertatap muka secara langsung. Dan ku uraikan kedatanganku ke tempat ini dan juga ke gundahanku tentang mencari titian hidup.

"Kita manusia harus mengajukan proposal doa kepada Allah tempat kita meminta Anakku" Pak Kyai mengawali jawaban atas semua pertanyaan yang ku ajukan yang menurutku sedikit bercanda...

.....Kurang lebih 30 menit kemudian.

Aku mendengarkan sangat jelas apa yang di sampaikan Kyai santun di depanku ini. Petuahnya menguatkan niatku untuk menuntut ilmu di sini.

Setelah hari terangkai menjadi bulan. Akupun harus mengabari Ibu yang juga mungkin sedang menunggu kabar dariku. Aku mulai menulis surat sekalian mengirimkan sedikit ikhsan yang ku dapat dan masih tersimpan di dompetku.

Hari-hari kulewati dengan terus menyerap ilmu sebanyak-banyaknya dari Pak Kyai juga para Ustad-Ustadnya. Hingga kabar dari Ibupun membuatku menangis pertama kalinya dari sekian lama ku tinggalkan beliau. Ibu mengabarkan bahwa Ibu sangat bahagia mendengar aku sedang berada di sini, dan memintaku untuk tidak memikirkan ekonomi di rumah. Ibu mengabarkan bahwa ada beberapa orang telah mengembalikan uang Ayah yang dulu di hutang oleh mereka. Dan Ibu mulai merintis kembali usaha kecil-kecilan bersama kakak dan adik di rumah.

*****

Enam tahun perjalanan hidupku kemudian....

"Abi...ada yang di pikirkan? " Suara lembut menyapaku dengan kedua tangan langsung memijat pundakku. Aku menoleh padanya. Ku kecup keningnya dan ku elus perutnya yang membuncit.

"Tidak ada apa-apa Um, cuma teringat masa enam tahun lalu saja" .

"Ohya? bersyukurlah Abi.." Katanya begitu menentramkan. Dan aku selalu ingin menangis bila menatap mata sendunya yang tulus. Mengingat selalu pengorbanan dan cintanya padaku! Aku yang hanya seorang melata, sedangkan dirinya Seorang putri Kyai besar, namun dengan besar hati mau mengikutiku berjuang dalam mengarungi hidup selama dua tahun ini dalam merintis pesantren kecil di kampung kelahiranku.

Alhamdulillah...Alhamdulillah...Alhamdulillah...! Atas rahmat dan taufikmu Ya Allah..! begitu sempurna kau ciptakan skenario hidupku. Dan begitu tertata tanpa aku bisa menduga sebelumnya. Berawal dari hilangnya sepeda jengki dulu, ternyata engkau telah menuntunku untuk mencari jalan yang telah engkau tetapkan Ya Allah..!

Alhamdulilah...Alhamdulillah..Alhamdullillah..! Trimakasih pada Sang Kyai yang telah membimbingku dan mengikhlaskan Putrinya hidup mendampingiku. Dan Ibu...Ohh Ibu...! Doamu yang suci telah di kabulkan Ilahi Robbi. Dan Ayah...Ohh Ayah...! Amanahmu telah aku tunaikan..!

Alhamdulillah...!telah ku temukan jejak mimpiku Ya Allah...!

Sunday, May 24, 2009

Nasi koper

Perjalanan holiday minggu ini sangat menyedihkan bagiku. Langit tak hentinya mencurahkan "air rahmatnya" ke bumi yang dua bulan ini di landa panas 33 derajat . Bumi yang hampir tak bertanah, karna semua permukaannya terbalut semen. Dan di perutnya tertanam besi-besi penguat beton pencakar langit. Itulah sedikit gambaran negri kecil yang dimana aku terdampar jauh dari negri "gemah ripah loh jinawi" ku. Yacchh! Indonesia adalah negeri unik dengan dua musimnya. Tak panas dan tak dingin.

Hari ini aku sengaja mengunjungi Victoria park. Tamannya orang Indonesia di negri Hongkong yang padat.Di sini lah orang-orang Indonesia bebas bereksperimen. Dari mengeksplor penampilan dengan gaya yang "Keren abiz" sampe mengeksplor talenta dengan belajar dan berniaga. Yachhh! berdagang dengan cara mencuri-curi keamanan dari petugas Polisi yang berjaga di Taman itu. Karna kalau sampai ketahuan dan ketangkap berdagang di luar kontrak kerja di negri ini, maka siapapun itu akan di deportasi.

Aku mengawasi koper-koper kecil yang berjejer di stand "jualan" mereka. Kurang lebih ada sepuluh pedagang menjajakan nasi dengan banyak menu masakan pedas khas jawa. Aku berjalan pelan, sambil menenteng sandal jinjing yang sengaja ku lepas. Dan memilih bertelanjang kaki menapaki jalanan basah nan dingin. Dengan celana panjang hitam yang ku linting untuk menghindari basahnya hujan.

Jujur aku salut pada perjuangan mereka. Hujan-hujan begini tak surut mereka mencari penghasilan sambilan di luar gaji pokok mereka. Aku ingin sekali menikmati nasi dengan sambal goreng pedas dalam wadah kotak plastik yang berjajar rapi pada koper kecil itu. Aku sedikit tercengang melihat cara mereka mensiasati keamanan berjualan yang termasuk melanggar hukum di negri ini.

Dengan menaruh dagangan di dalam koper kecil begitu, maka sewaktu-waktu ada petugas lewat, para pedagang nasi itupun tinggal menutup koper mereka saja dan menutupi koper itu dengan baju, maka Pak Polisi yang galak itu akan mudah terkecohkan. "hmm...cara yang jitu kan?!"

Namun aku tak tega dengan tetesan air hujan yang jatuh di antara sudut payung mereka dan sedikit membasahi sambal goreng yang ingin ku nikmati. Salut dengan usaha mereka. Meski kurang memperhitungkan dari segi kesehatan dalam menjaga sesuatu yang masuk ke dalam perut pembeli.
"Alaaahhhh! perut orang Indonesia mah, tawar! ga mempan apa itu yang namanya lalat dan air hujan!" Begitu kata temanku saat aku enggan untuk membeli makanan itu.

Akhirnya inilah cerita basah di hari liburku. Tak ada yang wah memang, tapi cukup terkesan dengan fenomena saudara sebangsa dan setanah air di perantauan.

Thursday, May 7, 2009

Cahaya di ufuk nestapa

Jari-jarinya terus menari di atas keybord komputernya. Menerjemahkan ide-ide yang masih tergambar di papan imajinasinya
*****
Beberapa tahun sebelumnya, Erni hanya seorang gadis sederhana dan hanya tamatan SMA. Yang kemudian di nikahi oleh salah satu mahasiswa KKN{ kuliah kerja nyata} yang sedang mengemban tugas lapangan di kampungnya. Dan kini Sang suami itu telah menjadi dosen di sebuah perguruan tinggi terkenal.
***
Hingga dari pernikahan mereka, lahirlah dewadewi kecil bagi pasangan ini. Bayi kembar di lahirkan Erni setahun setelah pernihakan . Dan semua anugrah itu adalah kebangaan baginya dan keluarganya. Erni di sebut-sebut gadis beruntung. Punya suami berpangkat dan baik . Dan itu secara langsung mengangkat Status sosialnya di kampung. Yang mana semua itu masih sangat berpengaruh. Begitu banyak kata pujian mengantarkannya kepada rasa bangga. Dan Ia benar-benar mensyukuri keberuntungannya itu.
***
Berada di dekat seorang suami yang mempunyai pekerjaan mengajar. Maka Erni tak lepas juga dari buku-buku bacaan. Yang tanpa di sadari, semua kebiasaan membaca itu mengasah bakat terpendamnya. Diam-diam Erni menyadari talenta menulisnya . Yang kemudian berawal hanya sekedar mencoba. Ide-ide itupun di tuangkannya ke dalam tulisan, dan di simpan dalam file pribadinya.
***
Sejauh ini suaminya tak pernah tahu, kalau istrinya diam-diam menulis Artikel, esai, cerpen bahkan cerita panjang pun berhasil di rangkainya. Namun Erni masih belum percaya diri untuk unjuk gigi mempublikasikan tulisannya itu. Ia masih merasa bahwa tulisan2nya belumlah layak di publikasikan dan di baca orang banyak.
***
Hingga suatu hari Ia mendapat informasi dari internet, kalau ada sayembara lomba mengarang novel yang di adakan sebuah tabloid. Kemudian Ia memberanikan diri untuk membicarakannya dengan suami tercintanya.
"Mas.." Sapanya lembut pada suaminya .
"Hmm.." Jawab suaminya ringan. Tetap tertumpu pada buku yang di bacanya.
Erni mengambil beberapa file yang telah di print dan di simpan di sebuah map khusus. lalu meyodorkannya file itu pada suaminya."Coba Mas baca ini, dan kasih koment ya".
Suaminya sedikit terhenyak dengan sikap istrinya. "Eh, kamu menulis ya?" Tanyanya setelah mendapati nama istrinya tertera di akhir tulisan itu.
***
Erni dengan hati berdebar, menunggu pendapat suaminya. "Bagaimana Mas " Tanyanya tak sabar ingin segera mendapat penilaian.
"Hmm...bagus, mau di apakan dik?"
"Mmm.. ada sayembara mengarang novel, gimana kalau aku ikut?"
"Wow! sejak kapan kamu bisa menulis Dik? kenapa kamu tidak pernah membicarakan hobimu ini?"
Erni hanya tersenyum manja, dan dan menyandarkan kepalanya di bahu suaminya.
***
Maka ikutlah Erni dalam lomba tersebut dengan harapan yang tak terlalu tinggi. Siapa sangka Pada suatu hari, Erni mendapat kabar kalau novelnya menjadi juara dalam lomba tersebut. Dan kemenangan itu di nobatkan sebagai anugrah kedua, setelah anugrah pertama yaitu pernikahan bahagianya.
***
Kemenangan itu semakin melecutkan semangatnya untuk lebih rajin lagi membuat novel-novel baru . Di atas kemenangan masih ada kemenangan lain yang menanti! begitu pepatah mengatakan. Jika hari ini Ia memenangkan satu hal dalam hidupnya, bukan tidak mungkin Ia memenangkan sepuluh hal lain dalam hidupnya. Pikir Erni dalam hati.
***
Selanjutnya menulis adalah bagian dari dedikasi hidupnya. Hari-harinya adalah mencari ide tulisan, dan aktivitas menulis menjadi aktivitas penting yang tak dapat di ganggu gugat. Dan Ia berhasil mendapatkan kemenangan selanjutnya. Erni menembus penjualan bestseller bagi bukunya yang berjudul Cahaya di ufuk nestapa. Membawanya ke dalam posisi terkenal sebagai seorang penulis tanah air.
***
"Dik..., malam ini aku ingin..! yuk tidur! " Kata suaminya yang sebenarnya telah lama menunggunya menulis di sampingnya.
"Ingin apa Mas? tidur aja dulu, nanti nyusul ya! kurang dikit lagi! " Jawabnya masih berkutat pada monitor komputernya. Akhirnya tak ada kata lain yang dapat di ucapkan Suaminya. Sambil mendesah berat, suaminya ngeloyor tanpa semangat menuju kamar mereka. Memejamkan mata dengan memeluk sepi dan dingin di atas tempat tidurnya. Dan itu terjadi lagi dan lagi di malam-malam berikutnya.
***
Di suatu malam, Erni teringat akan sesuatu. Ia segera men-save tulisannya, dan sesegera mungkin menutup komputernya. Dari dua hari ini, ia ingin memberikan kehangatan pada suaminya yang entah telah berapa lama Ia lupa menunaikannya. Sebenarnya tidak lupa, hanya saja setelah berhenti menulis, badannya terasa lelah sekali. Ia merasa sangat berdosa dengan suaminya yang dua hari yang lalu di buatnya kecewa berat.
***
"Dik..." Bisik suaminya mesra.
"Apa...!" Jawabnya ketus dan membungkus tubuhnya tapat dengan selimut.
"Gimana sih..?" Suaminya mulai sedikit marah. Di panggilnya sekali lagi istrinya dengan lebih lembut lagi. Tapi Erni yang setengah tidur, menjadikannya kalap karna gangguan itu. Ia menjejakkan kaki seenaknya, dan ternyata mengenai perut suaminya hingga terjatuh dari tempat tidurnya. Dan yang memicu pertengkaran Erni dan suaminya malam itu, adalah kata-kata kasar Erni pada suaminya. " Cari aja yang lain! jangan ganggu aku!" Erni ngotot tanpa di sadarinya. Ia benar-benar lelah, karna dua hari ini, hampir Ia tak bisa tidur karna ide-ide di kepalanya menuntutnya untuk terus menulis.
***
Dan malam ini, Erni akan memberikan yang terbaik dari malam2 yang pernah di lalaikannya. Dilihatnya jam telah menunjuk ke arah angka 1:10 menit dini hari. ia melompat dari kursinya dan segera keluar dari gua idealismenya. Erni berniat ke kamar mandi di belakang.
***
Beberapa langkah sebelum tiba di kamar mandi, Ia mendengar lamat-lamat suara seseorang yang di kenalnya dari kamar pembantunya. Erni mendekat pelan dengan kaki di jingkat-jingkatkan. Dan...
Lenguhan itu jelas terdengar di teliganya. menggetarkan dinding tembok yang di buat menempelkan telinganya. Tubuhnya bergetar hebat.
***
Ia segera menggedor-gedor pintu itu. Nafasnya tersengal memanggil-manggil nama pembantunya yang masih sebulan ini di pekerjakannya. Dan akhirnya Ia mendapati suaminya di dalam kemar pembantu itu. Suaminya tertangkap basah dengan badan basah oleh keringat di sekujur tubuhnya yang masih kelihatan menegang.
***
Di pinggir sebuah danau Erni mendamparkan diri. Selama empat hari Ia minggat dari rumah. ia tak mampu menginjakkan kakinya di setiap tapak lantai rumahnya. Tak lupa sebelum kepergianya, Ia tetap menuliskan surat untuk suaminya agar menjaga kedua anaknya. Buku betseller yang di tulisnya kini menggambarkan tokohnya adalah Erni sendiri. Bahkan rasanya Ia tak ingin lagi membawa nyawa yang terkandung dalam raganya. Karna hidup terasa begitu menyakitkan.
***
Ia menginap di sebuah hotel mewah yang menghadap ke danau di bali. Dan setiap hari Ia menghabiskan waktunya di tepi danau itu. Banyak di lihatnya berpasang-pasang orangtua berlibur di tempat itu dan menemani anak-anak mereka yang seumuran dengan anaknya. Mempertontonkan kebahagiaan dalam kebersamaan satu keluarga. Ada rasa yang menggigit di kalbunya. Kerinduan akan kehangatan itu kembali mendesaknya untuk mengakui kesalahannya sendiri. MANUSIA MEMANG TAMAK DAN SERAKAH! itulah hardikan sisi dalam hatinya. Ia menyadari bahwa apa yang di lakukannya telah mendatangkan nestapanya hari ini.
***
Ia mengeluarkan handphonenya yang beberapa hari ini tidak di aktifkannya. Ia buka dan beberapa sms masuk berkali-kali. Di biarkan sampai sms itu masuk semua ke dalam inbox hp nya. Berpuluh-puluh sms kemudian di bacanya satu persatu.
"Dik ampuni aku, demi anak kita!"
"Dik di mana kamu..?"
Dan berpuluh-puluh sms senada membuatnya Ia kembali histeris. Airmatanya yang hampir kering itu tiba-tiba membanjir. Beberapa sms pemberitahuan pesan mailbox yg masuk di dengarkannya. Suara mungil Aldi dan Alda terdengar menyayat hatinya.
"Mama di mana? kalau Mama ga pulang Alda ga mau makan!" Terdengar suara alda mengancamnya di pesan mailbox.
"Dik, Alda demam, tolong pulanglah, kalau mau menghukum , hukumlah aku dik, jangan anak kita" Suara selanjutnya adalah suara suaminya yang terdengar mengkhawatirkan putrinya.
***
Erni tiba di rumahnya jam sembilan malam. Di rumahnya hanya ada ibu mertua dan ibu kandungnya. "Er..kamu ini ada apa sih? apa yang terjadi? Alda di bawa ke rumah sakit ini lo" Kata Ibunya dengan tetesan airmata yang semakin memedihkan hati Erni.
'Bu antar aku kerumah sakit, di rumahsakit mana?" Tanyanya cemas.
Akhirnya dengan di antar menggunakan motor oleh tetangganya, Erni memasuki halaman rumahsakit dan segera mencari daftar nama anaknya.
***
Di lihatnya Alda terbaring terpejam. Ditanganya tertancap jarum infus . Erni segera mendekati Putrinya itu. bapak kandung dan bapak mertua serta suaminya tak lagi di hiraukannya. Ia mengelus putrinya yang tak tahu kedatanganya.
"De Ada..., Mama pulang sayang..." Erni mengecup kening anaknya. Namun mata mungil dewinya itu pun masih juga terpejam.
"Dia baru saja di kasih obat tidur Er, jadi biarkan dia tidur sebentar" Kata Bapaknya kemudian.
"Alda baik-baik saja kok kata dokter, cuma demam biasa saja. Tenang saja Nduk" Mertuanya menyambung. Erni hanya bisa mengangukkan kepalanya. " Trimakasih Pak.!" Jawabnya lirih di sela isaknya yang tertahan.
***
Beberapa menit Ia memandangi wajah sayu anaknya. Dalam hati Ia menjerit "Ya Allah sembuhkanlah anakku, aku berjanji sebagai Bundanya tidak akan meninggalkannya lagi, dan memperbaiki sikapku, aku akan berkorban untuknya! Ya Allah..., rasa sakit atas peringatanmu padaku, ku tebuskan untuk kesembuhan anakku..! Ya Allah ampuni hambamu ini...!"

Sunday, May 3, 2009

Ada pelangi di hatimu

Dia gadis lugu bernama Aning. Yang kini mulai beranjak ke masa remaja. Ayahnya sakit lumpuh bertahun-tahun. Yang diderita semasih Ia berumur 4 tahun yang silam. Sang Ayah adalah seorang pekerja keras, membantu pekerjaan keluargaku selama bertahun-tahun. Yang kemudian , akhirnya keluarga ini harus terlunta-lunta karna terpaksa merelakan harta bendanya untuk kesembuhan penyakit Sang Ayah tercinta.

Dulu..., semasa ujian tuhan mendera keluarganya. Aning masih belum mengerti benar apa arti semua itu. Dia masih tertawa-tawa saat berada di gendonganku. Hanya mempermainkan dan mengusap airmataku dengan tangan mungilnya. Di saat airmataku mengalir tak terduga di pipiku , kala aku memandang Ayahnya yang tak berdaya di tempat tidurnya dengan tatapan mata putus asa.

Kepedihan itu masih sangat membekas di hatiku. Aku turut merasakan kedukaannya. Apalagi Sang Ibu yang kemudian di gosipkan selingkuh dengan suami tetangga. Kehidupan keluarga ini semakin carut marut tak tersketsa. Aning sering datang ke rumahku, sekedar bilang " Mbak aku lapar.." Sambil mengacak-acak rambutnya yang kumal. Kusuapi dia dengan kasih sayang. Aku mandikan tubuh kurusnya dengan kelembutan. Mataku selalu basah bila menatap kebeningan telaga matanya yang jujur.

Hingga roda kehidupan juga menjungkir balikkan bahtera keluarga besarku. Hari-hariku pun ku rasa tak lebih baik dari kepedihan Aning. Aku tak lagi bisa menatap matanya. Karna aku sendiri susah payah menutupi mendung di mata dan hatiku. Berusaha agar orang lain jangan sampai menatap mataku, dan mendapati betapa keruh di dalamnya.

Kini Aning telah remaja. Dan aku mulai menua. Tak ada yang berubah dari hati masing-masing. Kehidupan yang juga terasa tak berbeda dari dulu. Simpati kami masih terasa walau mungkin Dia tak ingat masa-masa lampau itu.

Hanya saja, mungkin dia lebih kuat dariku. Karna ku rasa, aku mulai bercermin darinya. Setelah aku tahu, betapa gelombang pasang ujian kehidupannya seperti tak mau berhenti menghampiri dirinya. Dan mendamparkannya pada seonggok batu karang kehidupan yang tajam. Dan membuatnya kembali terpelanting, hingga hanya ada satu asa yang tertinggal di relungnya.

Musibah kembali mendera keluarga ini. Aning yang masih 16 tahun. Merasa perlu merubah nasibnya. Ia membulatkan tekadnya. Dan mengeraskan keberaniannya. Berbekal identitas yang di palsukan alias di tuakan umurnya, Ia ingin mengadu nasib ke luar negri. Seperti halnya diriku. Menjadi buruh migrant adalah pilihan. Damparan terakhir dari semua ketersudutan. Akhirnya masuklah Aning ke sebuah PJTKI lewat sponsor yang mengenalkannya. Ia pun mulai mengikuti karantina .

Hingga di suatu hari, saat mengikuti training masak di BLK. Aning mengikuti tutorial yang di ajarkan. Dengan bekal pengalaman yang hampir tak ada. Bahkan, Ia yang tak pernah mengenal macam-macam bentuk perabotan dapur modern. Sedikit membuatnya menyiapkan ingatan dan kejelian lebih tajam.

Namun malang tak dapat di tolak. Kala Ia mendapatkan piket dapur di suatu pagi. Aning melakukan kesalahan fatal yang mengakibatkan kompor gas yang di gunakannya itu meledak hebat. Dan sasaran utamanya adalah wajah Aning.

Luka bakar cukup berat di derita Aning. Setelah dua bulan di observasi di rumah sakit dengan biaya di tanggung PT di mana Ia kecelakaan. Kini Wajahnya menjadi cacat. Hidupnya semakin redup saja.

Saat ku katakan " Sabar ya Aning..". Dia hanya menjawab dengan senyum masam . " Kalau ada pilihan lain, tentu aku akan mengatakan, kalau aku sudah sangat bosan! bosan! dan teramat-amat bosan mendengar kata itu Mbak! tapi apakah aku mampu melawan takdir ini? aku hanya menunggu janji Allah yang mengajarkan sabar pada umatnya Mbak!" Tukasnya mengecam.

Pasrah adalah pilihan terakhirnya. Lambat laun Ia mulai bisa menerima keadaannya . Mengubur keinginanya untuk merubah nasib ke luarnegri. Karna impian itu hanya akan singgah di tidur siangnya.

Sekarang, aku yang justru masih di perantauan. Masih bingung menentukan jalan hidup di persimpangan. Sedangkan Dia yang selalu menutup wajah saat berjumpa tetangga, Ternyata telah menemukan pasangan hidup yang di kirim tuhan padanya. Aning menikah.

Saat menceritakan sekelumit kehidupan sederhananya. Ku lihat senyum tulus mengembang dari kedalaman hatinya. Dia telah menemukan arti "sabar" yang dulu pernah ingin di pungkirinya. " Sabar ya Mbak..!" Aning mengembalikan pinjaman kata-kataku dulu. Dan.. akhirnya Aku hanya mampu tertawa masam.

Aning...Kau tak punya matahari cerah! tapi kau punya pelangi yang indah..!

Friday, May 1, 2009

Kasih iboe

Siapa yang paling berjasa setelah Allah membentukmu?...
Siapa yang paling tersakiti dengan hadirnya engkau menghirup udara dunia?...
Siapa yang akan menangis pertama kali saat melihat kesedihanmu?...

Kau pernah menghuni ruang rahimnya.
Dalam pertapaan panjang selama sembilan bulan!

Rerintih dedaun kering...
Merajuk rendah diri di bawah batang pepohonya..
Setia menanti angin sepoi menggiring..
Juga tetesan embun sekedar membasah!

Si daun kering hanyalah reruntuhan..
Terserak di bawa angin, maupun membusuk..
Adalah tetap tiada pernah segar di pandang mata!
Namun....

Betapa yang hijau melambai di dahan itu..
Adalah wujud kasih dari lapuknya..
Si daun kering tiada minta..
Untuk di puja para pemandang..
Dirinya...hanya merasa abadi bersama kerelaan!