Thursday, October 1, 2009

Pamit

Assalamualaikum...wr..wb

Untuk semua teman yang pernah mampir ke blog ini, ato sahabat yang tak jenuhnya memberi perhatian lewat komentar atas tulisan sederhana saya,sungguh saya ucap trimakasih dan maaf jika mungkin ada salah saya yang pasti bukan saya sengaja tentunya..{he..he}.
Saya tulis di sini, karna kemungkinan dalam beberapa waktu yang tidak bisa saya tentukan, saya tidak lagi bisa menulis apapun di sini.
SAMPAI JUMPA LAGI!!!


Wassalamualaikum... wr..wb

Saturday, July 18, 2009

kenangan seminggu di kampungku

Sepulang dari Indonesia dan kembali lagi ke negri rantau. Aku sepertinya tak biasa dengan layar maya plus isi di dunia itu. Namun setelah aku berbaur kembali beberapa kali. Ada krentek untuk menorehkan isi hati kembali. Seperti hari2 sebelumnya, yang menjadikan ruang ini sebagai wadah curhatku.Mungkin bisa di bilang ini untuk kenanganku sepanjang masa, setelah aku melewati masa ini.

Bismillah...

Sampai sekarang aku masih seperti mimpi. Bukan masalah aku berada di tengah keluargaku yang ku rindukan sekian lama. Namun kejadian demi kejadian yang membuatku seperti tak berani mempercayainya secara nyata.

Allah memberikan begitu besar kekuatan hingga aku tak menyangkakan bahwa aku sekuat itu. Mendengar dengan nyata pengakuan suamiku tentang pengkhianatanya dan tentang semua teka-teki yang membuatku sempat kehilangan kepercayaan diri. Bahkan sempat aku memilih jalan yang lain.

Tapi itulah Wanita, Ibu, dan Anak tertua. Yang telah ku sandang dan harus ku pertanggung jawabkan. Sebagai Wanita, aku tetap harus lembut menyikapi gejolak apapun yang ada di depanku. Dan sebagai Ibu, aku harus kuat menutupi gejolak yang mungkin bisa menimbulkan kontrakdiksi di dalam jiwa anakku. Karna aku tahu dia yang termahal di dalam hidupku. Dan sebagai anak tertua di keluargaku, aku harus bisa sekuat tenaga memberi contoh terbaik di mata mereka.

Alhamdulillah...

Saat aku berada di tengah2nya. Kekuatan itu terhimpun begitu kuat, begitu tegar dan begitu kokoh. Aku masih tersenyum di dalam kemelut. Aku masih mampu menunaikan tugasku dengan sangat baik. Dan hampir sempurna di mata orang lain.

Ohh Tuhan...

Manusia biasa memang tetap biasa. Semua kekuatan itu sepertinya melukaiku urat demi urat dalam hati dan tubuhku. Tak setetespun dapat ku tumpahkan airmata ini. Justru tertawa tanpa arti menjadi bahan untuk pelepasan kesah ini.

Gilakah aku?....

Smoga bukan kegilaan yang berkepanjangan. Dan aku sadar bahwa kekuatan manusia itu sebenarnya ada dan nyata. Dan betapa indahnya jika aku telah melakukan apa yang membahagiakan orang2 di sampingku. Dan itu sungguh merangkai kekuatan sendiri untuk bertahan.

Malam itu aku keluar rumah. Berjongkok di pekarangan rumah yang gelap. Tubuhku bergetar hebat. Kurasakan panas tapi aku menggigil. Ku seru2 nama Allah, aku takut sekali, sangat takut!!!... Aku tak juga bisa menangis, sesak dadaku dan leherku seperti tercekik. Dan ini ssebenarnya sudah biasa aku alami. Tapi kali ini yang terhebat bila aku melukiskannya. Untuk yang pertama aku merasa jijik sekali pada seseorang. Dan kemudian... akhirnya aku mampu keluar dari perasaan menghimpit itu...

Di hari lain...

Di pinggir sungai kecil yang airnya mengalir bening. Nampak bebatuan di dasarnya yang dangkal. Aku termenung meredam emosi dan menutupinya dari semua orang. Merasa yakin bahwa semua yang di sebut masalah itu hanya termasuk aksesori kehidupan. Dan semakin aku mengeluh, akan semakin terasa masalah menyakitkan itu menindih kekuatan positif dalam diriku. {seperti detik ini}.

Aku banyak mengingat tulisan2ku sendiri yang bernada tegar. Mengingat kembali nasehat2 sahabat bahkan oleh orang2 yang pernah dekat. Dan aku bercermin pada kisah2 orang lain.

Mencuci baju di sungai, membersihkan rumah, memasak di dapur adalah kesibukanku selama di kampung kelahiranku yang baru saja terkena longsor setahun lalu.
Memandang anak saat tertidur, menyuapinya makan, hingga bermunajat di mushala kecil di mana dulu aku belajar mengaji, adalah kenangan indah yang begitu indah. Dan menutup hampir semua cerita duka.

Alhamdulillah...Alhamdulillah...Alhamdulillah...

Wednesday, June 3, 2009

Cinta dalam harapan

Hari ini cuaca mendung, udara pun terasa pengap menggerahkan. Ku lihat bayiku semakin tak nyaman saja dalam gendonganku. Ia mulai merengek saat ku ajak duduk berjubal di dalam microlet sesak penumpang yang akan membawa kami ke Terminal kota.

Aku terpaksa nekad melakukan perjalanan ini, meski Orang Tua sudah mencoba mencegahku untuk menyusul Suamiku yang pulang ke rumahnya di Banyuwangi. Padahal bukan jarak yang dekat untuk ukuran anakku yang masih berumur 14 bulan . Tapi cara itu harus ku tempuh! sebab, ku rasa semakin hari, aku semakin tak punya daya lagi untuk menangguhkan perasaanku sendiri tentang Suamiku.

Panasnya udara hari ini tak lagi ku gubris. Tapi tidak dengan anakku yang mulai menggeliat kegerahan. Ku coba untuk menenangkannya , karna sesaat lagi kami akan tiba di Terminal Induk, yang di mana aku akan oper kendaraan menggunakan Bis Patas jurusan Malang- Banyuwangi.

Alhamdulillah.., Dewi kecilku akhirnya diam dari rengekanya. Aku pun turun dari Microlet sesak itu dengan mencenteng tas bayi berisi popok dan baju bayi. Dan berjalan tenang menuju tempat pembelian tiket.

Tak lama kemudian aku pun sudah berada di atas armada Bus. Sengaja ku pilih Bis yang memenuhi fasilitas AC. Biar mahal sedikit, tapi demi kenyamanan bayiku,aku merasa perlu untuk melakukan hal itu.

Aku mencari tempat duduk yang dekat jendela kaca. Tujuanku agar bayiku bisa terhibur dan tidak rewel bila matanya di manjakan dengan pemandangan luar. Apesnya, tempat duduk yag aku incar itu telah penuh terisi. Akhirnya akupun segera menduduki kursi kosong yang ada di dekatku. Ku lihat ada seorang Laki-laki yang duduk di sebelah. Aku sedikit canggung, tapi tak ada cara lain, karena aku malas utuk berjalan ke depan mencari tempat duduk lagi.

Bis memulai perjalanan...

Ku rasakan anakku mulai haus. Ia mulai rewel lagi.
"Hallo...!" Pria di sebelahku menyapa anakku dengan ucapan say hallo.
"Hai..! " Ku wakili anakku dalam menjawab sapaannya. Dan seketika anakkupun ter tarik memperhatikan Pria itu. Ia mulai terhibur dengan godaan Pria itu dan anakku tertawa kecil saat di sentuh oleh tangan kekar pria itu.

Saat itulah aku melihat Tato bergambar Sang Dewi di punggung tangan pria di sebelahku itu. Dan tanda Tato itulah yang membuat jantungku berdesir hebat. Dan seketika membuat darahku melaju kencang hingga panas dingin ku rasakan menjalar di sekujur tubuhku.
Ku beranikan menatap Wajahnya walau sekilas.
Astaga..! Benar-benar mirip dengan Hery, Lelaki yang pernah berhubungan asmara denganku lewat internet tiga tahun lalu. Jangan-jangan benar Hery adanya?? Ohh Tuhan.. jangan pertemukan aku dengannya di saat situasi seperti ini. Aku tak berdaya...

"Mbak.." Pria itu memanggilku. Aku tergagap, tapi tak berani menatapkan muka dengannya.

"Anakknya nangis, munkin perlu minum" Sambungnya menyadarkanku akan bayiku yang merengek-rengek dan merabakan tangan mungilnya di dadaku. Tapi entah kenapa, aku menjadi sedemikian canggugnya, hingga aku merasa keberatan untuk membuka dadaku sekedar memberi susu pada anakku.

Aku mencoba menenangkan bayiku kembali dengan mengalihkan perhatiannya ke arah luar jendela kaca. Ia mulai agak tenang. Tapi kemudian teringat lagi dengan rasa hausnya, yang sebenarnya aku sendiri sangat tahu akan hal itu. Hanya saja.. , tiba-tiba aku merasa malu untuk meneteki anakku di dalam kendaraan begini. Atau..lebih tepatnya, aku malu pada pria yang duduk di sampingku ini?...

"Mbak, masih netek ya dia?" Tanya Pria itu lagi.

"Iya " Jawabku gagu dengan senyum yang ku paksakan.

"Kalo gitu tetekin aja dulu, Sebaiknya Mbaknya duduk di tempatku ini saja gimana? biar leluasa nyusuin anaknya, ya?!" Katanya kemudian, menawariku menduduki tempat duduknya yang ada di dekat kaca. Dan aku mengangukkan kepala. Lalu Pria itupun beralih ke tempat dudukku.

Akupun segera menyusui bayiku yang dengan lahap menyedot susunya. Aku merasa bersalah membiarkannya beberapa saat dia kehausan. "Maafkan Ibu Nak.." Bisikku dalam hati dan kupandang matanya yang merah karna menangis.

Kulirik Pria itu sedang memalingkan badannya. Aku tahu dia sengaja melakukan itu karna kemungkinan dia bisa membaca ke canggungan sikap malu-malu ku tadi.

Saat itu, aku leluasa memandang punggungnya, rambutnya, dan mencoba menyamakan dengan sosok Hery yang pernah ku kenal dulu di dunia maya. tiga tahun lalu.
Begitulah cara aku dan dia saling mengenal dan melihat sosok masing-masing lewat Webcam di Yahoo Mesengger. Yang kemudian terjalinlah hubungan cinta maya antara aku dan dia. Kami menikmati hubungan indah itu, dan saling berjanji mengarahkan hubungan cinta ini ke jenjang yang sempurna. Di saat kami sedang indah-indahnya menikmati gejolak asmara. Ia sengaja membuat Tato Dewi dengan ilustrasi gambar bibir dan tahi lalat yang tak lain adalah gambaran atas diriku. Dan Tato itu sebagai simbul cintanya padaku.

" Aku akan menempatkan dirimu di hatiku, dan menorehkan namamu di kulitku, agar selamanya selalu bersamaku" Begitulah Hery beralasan saat itu , kala aku menolak tindakannya menTato kulitnya.
***

Aku menarik nafas dalam-dalam. Ku pandangi anakku yang tertidur pulas di pangkuanku. Dan pelan-pelan ku lepas tetekannya. Kemudian dengan hati-hati aku merapikan kembali bajuku.
Lalu ku sentuh pundak Pria di sebelahku itu dengan ujung jariku. Diapun menoleh dan berbalik duduk tegak seperti semula.

"Hei, sudah tidur ya? MasyaAllah.., tadi itu benar2 kehausan kali Mbak " Katanya sambil menatap wajah anakku yang pulas.

"Makasih" Ucapku menjawab ketersimaanya menatap bayi di pangkuanku.

"Ah Trimakasih apaan.." Jawabnya pendek. Ku rasakan sekilas Ia memandang wajahku. Sedangkan aku yang semakin yakin bahwa Pria itu adalah Hery yang pernah ku kenal, maka sedikitpun aku tak berani menatapkan mukaku dengannya.

"Mbak ini asli mana? " Tanyanya memecah diamku.
"Oh saya Kepanjen" Jawabku sengaja tidak menyebut Malang .
"Kepanjen ya? hmm.. dekat nggak ya kira-kira sama Rejo sari?"
"Mmm, agak jauh" Jawabku semakin yakin kalau Pria di sebelahku ini adalah mantan kekasihku dulu. Seorang yang sebenarnya sangat ku rindukan, karna ternyata benih cintaku justru bersemi di saat aku sudah kehilangan kontak dengannya. Apalagi di saat aku sedang tidak bahagia seperti ini, hatiku sering merindukannya. Bahkan tak jarang semua itu sampai terbawa dalam mimpi di tidurku. "Ohh Hery...!" Jeritku dalam hati dan berusaha menguasai diri.

Sejenak kami diam. Dia sendiri menyandarkan kepalanya di sandaran kursi. Ku lihat dia sedikit gelisah.

"Aku mengenal seorang Cewek Malang Mbak, tapi alamatnya hilang. Karna waktu itu aku kena pemutihan di Malaysia yang mengakibatkan aku di deportasi. Saat ketergesaan itulah aku tak memperhitungkan banyak hal. Sedangkan HP dan baju-bajukupun saat itu tertinggal di Mess. Aku pulang hanya bawa paspor dan uang sekali jalan"

Pria itu menjelaskan padaku sambil menerawang. dan aku...? ohh, betapa aku semakin menggigil ketakutan campur aduk tak karuan.

" Terus.." Responku untuk menanggapi ceritanya padaku. Meski aku sendiri sebenarnya sangat terkejut dengan pengakuan itu. Karna dulu ku kira dia sudah melupakan aku , dengan menghilang begitu saja dan tak lagi pernah menghubungiku.

" Ya begitu! sampai setahun aku di rumah dan akhirnya kembali lagi ke Malaysia dengan dokumen Legal. Namun nomor Cewek itu sudah tak bisa lagi ku hubungi . Ahh..! sampai aku balik Indo lagi dua bulan ini. Dan sebenarnya, aku ingin sekali datang ke Malang Mbak! " Pria itu menatapku. Aku segera mengalihkan pandanganku. " Tapi.. , aku dengar dia telah menikah!dan aku urungkan niatku untuk mencarinya, karna takut sampai mengganggu kebahagiaanya? "

Ku lihat Pria itu menarik nafas beratnya....! Benarkah engkau Heryku? yang pernah ku kutuk-kutuk karna menghilang tanpa pesan dulu itu?...

Kalau benar ini dirinya. Ingin ku katakan sekali padanya, bahwa Dewinya sedang berada di sebelahnya. Tapi itu tak mungkin ku katakan!aku masih berusaha untuk tidak yakin kalau pria ini adalah Heryku dulu. Dan ternyata juga, Ia tak cukup mengenali wajahku, tahi lalat dan juga bibirku. Dan itu sangat wajar, karna Dewi yang di kenalnya dulu, adalah dewi yang modis, tidak seperti Dewi yang sekarang terlihat kusam dengan penampilan sederhananya.

"Mas mencintainya?" Pancingku.
"Sangat Mbak! sangat! Baru kali ini aku tidak bisa melupakan seorang cewek Mbak! aku hanya ingin tahu kabarnya saja! kalaupun dia sudah menikah, aku pasti juga turut berbahagia! tapi aku benar-benar ingin tahu sekali bagaimana kabarnya dia sekarang!" Katanya tetap menerawang ke arah atap Bis yang sedang melaju kencang.

Sedangkan aku yang mendengar penuturannya itu, semakin tak sanggup lagi menahan buliran bening yang sejak tadi mengembung di pelupuk mataku. Rasa rindu itu semakin membuncah! tapi aku tak mau dia mengenaliku saat ini. Aku tak ingin Ia melihatku dalam keadaan seperti ini. Keadaan yang sakit karna tersiksa oleh sikap suamiku yang tak punya rasa kasih sayang.

"Mbak..Mbak.." Pria itu memanggilku, dan berusaha memandang wajahku yang ku buang keluar. Sejenak diam kembali merenggut suasana yang tadi baik-baik saja.
Sedetik kemudian ku rasakan sebuah sentuhan di daguku. Jari-jari pria itu membalikkan wajahku dan mengarahkannya ke wajahnya. Aku berusaha menolak, tapi itu hanya bisa ku lakukan dalam hati saja. Sejatinya dalam nyata aku tak sanggup menolak tatapannya.

"Apakah kamu benar Dewi yang sejak tadi ku kira?.hmm..?? aku masih mengenalmu ! dan aku yakin kamu juga masih mengenaliku bukan?" Kata-katanya terucap tertahan.

Aku masih terpaku dalam ke tidak siapan pertemuan ini. Dia terus menatapku, dan semakin deras pula airmataku menjawab tatapanya. Dan akhirnya.. .

"Mas Hery...! maafkan aku ...! maafkan..!" Ucapku lirih.

Tanpa ku duga dia segera membenamkan kepalaku di pelukannya. Tak peduli banyak mata memandang keharuan kami. Tak peduli dengan anakku yang terbangun dan justru tertawa kecil dengan menarik-narik baju Hery yang begitu lama tak juga mau melepaskan aku dari rengkuhannya.

Namun segera aku melepaskan diri dari semua mimpi di kenyataan ini....!

Ku temukan dirimu di saat aku tahu aku akan jauh darimu.
Ku lihat kembali wajah hatimu menatapku di saat hatiku justru sedang berlayar dengan yang lain.
Aku tahu cintaku hanya padamu, dan aku tahu cintamu juga abadi untukku. Dan...
Biarlah waktu yang mengatakan dengan sangat jujur akhir dari semua cerita ini.

Wednesday, May 27, 2009

Bila Lidah Berdusta

Kutatap matanya dengan tatapan menerkam. Ku pastikan jika aku tak selemah dulu. Dan mudah percaya dengan semua kecohan matanya yang meyakinkan.

"Pa, sekarang aku telah di depanmu, ku peringatkan padamu untuk jujur padaku!"
Kataku yang sengaja ku buat sebegitu ber wibawanya. Meski aku tahu ini buka sifatku! Namun, tak ada salahnya juga mencoba resep temanku untuk tegas meghadapi sosok Lelaki yang suka berkelit seperti Lelaki di depanku ini.

Ia masih diam menunduk. Tak seperti biasanya yang tajam menatapku dan tajam pula Ia megatakan sesuatu padaku tentang alasan-alasannya setiap melakukan kesalahan.

"Masih adakah janji yang engkau tinggalkan pada Wanita-wanitamu di luaran sana? Aku ingin kita bersih dari semua bangkai-bangkai tersembunyi dalam hati kita Pa! Aku tak ingin lagi ada ledakan yang lebih dahsyat di belakang nanti! Saya harap kita bisa terbuka, dan jantan mengakui semua kesalahan! juga jantan menerima keputusan dari masing-masing pihak!" Kataku lagi, bak kata-kata jaksa penuntut umum di pengadilan.

Ia sekilas menatapku. Tak kutemukan lagi tatapan yang dulu sering menjatuhkanku dalam kubangan kepedihan, penyesalan mempercayainya, dan akhirnya hanya pasrah menerima semuanya dengan embel-embel lapang dada.

Hatiku mulai melunak, aku tak yakin dengan cara kerasku menggertaknya untuk mau meninggalkan kebiasaannya berbohong. Bagaimanapun aku selalu menghormatinya dan menempatkan diri dan derajatnya di atasku. Aku hanya ingin merubah sifat-sifatnya! tapi aku ini siapa? berhakkah aku merubah sifat siapapun?... batinku mulai berpentalan membentuk ritmik seperti ritmik bola basket yang di lempar ke lantai. Mulanya terpental di ketinggian, semakin lama semakin rendah...rendah...dan akhirnya berhenti di telapak kaki Sang pemain bola.

"Pa, jawablah! bicaralah? tegakah engkau melukaiku selamanya? apa hak engkau membuatku begini?! Kenapa kau menyiksaku dengan semua kebohonganmu?! " Aku mulai bersimpuh dalam keputus asaan. Aku benci dia dalam batas-batas cintaku yang terjauh.

"Aku tak ingin lagi menjawab semua pertanyaanmu Ma!"
Jawabnya terkesan mengindahkan semua permohonanku.

Aku menatapnya lagi. Kali ini Ia juga menatapku. Dan aku selalu tak mampu menembus kedalaman relung matanya. Mengartikan tatapannya. Dan menemukan jawaban atas semua keraguanku tentang semua yang di katanya.

"Kalau begitu , Kau menantangku! aku tak mau menangis lagi! tak mau memohon lagi agar engkau berhenti berdusta! aku hanya ingin kejujuranmu! agar hatiku tenang, tak selalu di bayangi oleh perasaan cemburuku pada wanita-wanitamu sebelum aku kembali di rumah ini! aku tak mampu lagi mengulang rasa seperti itu di malam-malamku Pa..! saya mohon..!"
Kali ini ketegaranku gugur. Ku biarkan airmataku menetes semaunya. Aku tak akan lagi berusaha mengusapnya. Dan berusaha menyembunyikannya.

"Ma...! kamu tak ingin aku mendustaimu kan?" Kata suamiku lagi. Pernyataannya itu mampu mengusik hatiku yang sulit mempercayainya. Sejenak, aku diam mencerna kata-katanya. Dan ku rasa sebait kata yang di ucapkannya itu bukanlah sebuah alasan. Tapi sebuah per tanyaan balik, kenapa Ia beralasan dan berdusta. Aku mulai mengajak hatiku untuk mau mendengarkan apa yang akan di katakan suamiku selanjutnya. Aku diam. Dan ku isyaratkan akalu aku sedang mendengarkannya dan mempercayainya.

"Ma..! hatimu tahu bagaimana hatiku mencintaimu! bagaimana jiwaku rapuh bila aku mendapati diriku melukaimu! aku tak menginginkan itu! apa kamu kira aku tertawa di balik tangismu? Jika kamu tahu, tangisku lebih deras dari yang kau uraikan!" Kembali Ia melontarkan kata-kata, sebelum aku sempat menjawab apapun atas pertanyaannya tadi. Ku pandangi wajahnya dengan seksama. Ucapanya terdengar begitu tajam walau tertahan. Ku lihat urat lehernya seperti sedang menahan satu beban aliran ucapan-ucapanya.

Aku masih diam memaku.

"Tapi kenapa kamu selalu memberiku kesempatan untuk berbuat kesalahan? kenapa kamu tidak meyadari apa yang ku butuhkan sebenarnya? kenapa kamu hanya menyalahkaku, dan membuatku takut kehilangan dirimu?!" Kali ini ku dengar suaranya meluruh. Dan ku lihat nyata tetesan air matanya. Dia menangis?... Pikirku sedikit galau.

"Aku menyalahkanmu? Aku tak tahu yang kau butuhkan? " Jawabku yang kurang mengerti arah pembicaraannya. Selama ini aku merasa selalu mengalah, menghormatinya, dan memberi semua cintaku padanya. Dengan hati tulus dan iklhas. Ada apa ini?? ... Hatiku mulai merangkai pertanyaan-pertanyaan yang siap ku lemparkan padanya.

"Berhentilah mencurigaiku, berhentilah berpikir bahwa aku selalu berdusta padamu! karna jika kamu selalu begitu, aku akan merasa diriku seperti itu!" Sekali lagi Ia melontarkan kata-kata yang sanggup menegangkanku.

Aku mulai berpikir dengan permohonanya. Mempertimbangkan aturannya. Walau aku masih tidak yakin jika Ia berhenti berdusta.

Beberapa malam aku renungkan. Aku telusuri semua ganjalan masalahku dengan suamiku selama ini. Banyak hal-hal yang harus ku jawab dari pertanyaanku sendiri. Kenapa aku selalu merasa Ia yang selalu bersalah? dan selalu mendustaiku? Benarkah aku terlalu mencurigainya?...

Di suatu malam setelah kira-kira satu minggu paska pertengakaran kecilku dengan suamiku. Aku tertuntun untuk masuk ke dalam kamar tidurnya selama ku tingalkan rumah ini. Masih dalam rangka mencari-cari jawaban tepat untuk memuaskan hatiku.

Hanya ku dapati sepucuk surat yang terlipat rapi di atas meja lampu di sisi ranjang. Aku duduk di tepi dipan yang masih terasa ada bau khas keringat suamiku itu dengan hati berdebar. Ku raih lipatan kertas yang bisa ku baca dengan terang namaku tertulis di sana. "Surat ini untukku?"
Aku mulai membacanya...

Untukmu Istriku...
Maafkan sebelum dan sesuadah kau baca isi surat ini. Dariku yang sudah begitu membuat banyak kesalahan padamu. Dan berharap maafmu tak ada batas untuk diriku Sang Pendusta di matamu ini.

Istriku...
tak kusalahkan dirimu yang mungkin tak lagi percaya padaku! hanya saja... ku ingin kau mengerti rasa yang pernah ku rasakan tentang hati dan cintaku padamu. Meninggalkan itu mungkin lebih mudah dari di tinggalkan Istriku...! itu perasaanku selama ini. Kini.., aku akan mencoba merasakan perasaan yang pernah kau lewati selama meninggalkanku. Agar aku juga mengerti pengharapanmu tentang pengertianku padamu. Sayang..., aku tak bisa memaksamu untuk memaafkanku, dan aku tak juga bisa berjanji banyak padamu, karna aku takut mengingkarimu. Yang ingin ku sampaikan adalah, bahwa aku sangat mencintaimu, dan aku sangat tahu jika aku tak bisa hidup tanpa ada kamu di sisi aku!
Dariku Lidah pendusta

Ku genggam erat surat itu dan aku mulai mencari-cari sosok suamiku. "Iya aku percaya sayang..iya aku percaya..." Hatiku tak hentinya memanggil. Saat itu aku benar-benar mengerti bahwa maaf dan sabar itu tidaklah terbatas. Yang membatasi maaf dan sabar hanyalah ketamakan dan ke angkuhan hati. Sabar itu ke pasrahan, dan maaf itu adalah ke ikhlasan.

" Aku ingin menatap matamu saat ini juga! aku ingin memastikan bahwa engkau tidak berdusta! kenapa tidak dari dulu engkau mau dengan besar hati mengakui kesalahanmu seperti ini? kenapa tidak dari dulu engkau tak suka beralasan yang sering tak masuk akal? kenapa baru sekarang kamu mengerti apa yang di inginkan hatiku tentang sebuah pengakuan atas setiap kesalahan? Aku juga manusia, aku juga pendosa! aku mengerti..! maafkan aku yang tak mau memberi kesempatan pada hatiku untuk mengerti dirimu."

~~~~~***~~~~~

"Ma...! " Sebentuk wajah heran memandangku dari bibir pintu.
Aku tergagap dari lamunanku. Ku sadari diriku yang sedang terisak-isak di pinggir taman kecil di belakang rumah. Aku menoleh ke arah suamiku yang berjalan mendekatiku. Namun aku tetap tak bergeming.

Ku usap airmata yang masih mengalir tanpa ku sadari. Ternyata aku baru saja melamun. "Gila! aku melamun sampai sedemikian sempurnanya! halusinasiku begitu jelas mengilustrasikan endapan-endapan perasaanku!"

"Ma, masih marah ya? maafkan Papa Ma..!" Kata suamiku lembut merangkul bahuku dan mengelusnya.

Aku tetap diam. Alam pikiranku masih terpengaruh dengan lamunanku barusan. Dan sebenarnya tangisanku ini bukan karena aku masih marah dengannya. Semalam , kami memang sempat terlibat pertengkaran kecil. Di karenakan Dia yang selalu begitu dan begitu! tak mau menjawab setiap pertanyaan-pertanyaan kenapa dan mengapa yang ku ajukan setiap ku rasa Dia ada kesalahan. Dan aku kecewa dengan diamnya.

Aku mencoba menutupi ke gelianku atas lamunan yang telah membuatku menangis sesenggukan ini dari suamiku. Aku masih diam. Dan ku biarkan Dia menerka-nerka atas tangisanku ini. Meski sebenarnya dalam hati aku sangat geli dengan kekonyolanku sendiri. Hanya saja, aku mungkin malu untuk mengakuinya. Dan menurutku, ini kesempatan untuk memancing perasaan yang tersembunyi di hatinya." Adakah yang akan Dia katakan setelah ini?" Hatiku mulai menunggu jawaban.

"Ma, aku takut sekali setiap membuatmu menangis seperti ini..! dari tadi aku mengawasimu , kulihat kamu marah dan begini..! maafkan aku Ma...! Maafkan..!"

Ku tatap matanya yang redup menyiratkan kejujurannya. Ku balikkan badanku dan ku peluk dirinya erat. Aku tak ingin Dia meninggalkanku seperti dalam lamunanku tadi. Aku tak ingin merasakan rasa penyesalan seperti itu lagi. Tak bisa ku katakan apapun di pelukannya. Hanya hatiku yang menyambugkan perasaan ini lewat debarnya.

"Trimakasih Ma..! smoga aku bisa memenuhi perharapanmu tentang perubahan sifatku".

"Tidak Pa, aku juga punya salah, tidak hanya engkau yang harus merubah keburukan-keburukan, tapi diriku juga! kita satu keluarga, tak seharusnya ada curiga dan kekerasan hati untuk tidak memaafkan"

Kami hanya saling berpelukan dalam kedamaian hati. Di mana letak hati pada posisi kerelaan. Karna hidup tak selamanya terlukis indah. Ada kalanya coretan-coretan menyakitkan menjadi pewarna kanvas dalam lukisan kehidupan .

Haruskah kita tunduk pada keangkuhan dan ketamakan yang mengunci ke indahan taman hati dalam memekarkan bunga cinta? Cinta kepada manusia seharusnya tak lebih tinggi dari cinta kita pada Sang pemilik manusia. Dan memaafkan adalah kunci kita mencintai.

Monday, May 25, 2009

Jejak Mimpi

Ku ayunkan pedal sepeda jengkiku dengan hati legowo. Tak lupa kubaca selalu al-iklhas dan membayangkan wajah Ibuku yang tersenyum dan berucap" Nak aku bangga padamu". Kendati aku harus berjauhan dengan beliau, tapi aku yakin doanya selalu terucurahkan kepadaku di setiap waktu! karna aku merasakan itu.

Ku susuri jalanan kampung dengan sepeda ontel pinjaman Bos ku. Demi mengais rezeki dengan jalan yang sebenarnya tak ku inginkan ini. Pekerjaan mencari barang bekas adalah pekerjaan yang sangat tak ku bayangkan sebelumnya, dan tak mudah bagiku menaklukkan diriku sendiri untuk ikhlas menjalaninya.

Berawal dari kepergian Ayah, dan berakhir dengan merosotnya ekonomi keluarga. Dan aku??Ohh!! sepertinya aku belum cukup mampu menjadi tiang bagi usaha yang Ayah rintis, sebelum Beliau beristirahat selamanya meningalkanku dan juga Ibu. "Ayah, salahkah aku menjadi pemulung seperti ini? jika engkau masih di sini, kecewakah engkau padaku Ayah? " Tiba-tiba hatiku di rundung nelangsa yang diam-diam menyerang jiwaku. Namun, wajah Ibu kembali hadir dengan senyumnya yang tulus.

Aku berteriak sedikit keras hari ini, untuk memberitahukan kepada orang-orang kampung yang ingin menukarkan rongsokan mereka dengan uang recehan yang kutawarkan. Hari ini aku bertekad harus mendapatkan penghasilan lebih besar dari kemarin!. Kembali senyum Ibu mengiringiku.

Sampai tengah hari, tak jua ku temukan kepuasan dengan hasil yang telah ku dapatkan. Rasanya masih jauh dari yang ku targetkan sebelum berangkat tadi pagi. Ku lirik keranjangku, dan hanya buku-buku bekas saja yang mengisi seperempat perutnya. Aku mendesah tapi tak bermaksud mengeluh. Karna pantang bagiku mengeluh untuk urusan yang sepele! "Bukankah masih ada setengah hari lagi?" Pikirku menghibur diri.

Aku menghentikan sepedaku di Gardu Pos kamling di pojok kampung. Terasa kering sekali tenggorokan ini memaksaku untuk segera membasahinya. Ku ambil botol minuman mineral yang sengaja aku siapkan. Dan sesaat mataku tertumpu pada buku bekas di perut keranjangku. Aku tertarik untuk membacanya sebentar sebagai teman istirahatku siang ini.

Ku baca judul buku itu. "Think and Grow Rich" . Aku berpikir sejenak mengartikanya. " Berpikir dan menjadi kaya??" Aku tercengang. Tak bisa ku lukiskan betapa aku gembira menemukan buku ini. Ku reguk air putih yang terasa lebih nikmat ini. Perutku yang tadi gemerucuk, tiba-tiba terasa kenyang saja. Aku tersenyum sendiri, rasanya tak sabar aku ingin segera memutasi isi buku ini. "Hmm..., Aaacchhh!!" Kantuk meyerangku tanpa perasaan. Padahal aku masih ingin memburu waktu untuk mengejar target penghasilanku hari ini. Aku menguap lagi dan lagi.....!.

"Allahu akbar..Allahu akbar...!" Seruan Adzan mengagetkanku.

Aku tergagap. Ku dapati diriku sedang bersandar pada dinding Post. "Aku tertidur?" . Aku masih bingung dengan ke adaanku. Setelah beberapa detik kemudian, aku baru sadar, kalau diriku tertidur di tempat ini. Pertama yang aku ingat adalah daganganku. Tak ku dapati sepeda jengkiku yang tadi aku sandarkan tak jauh dari tempatku duduk.

"Hasbunallah.. wanikmal wakil..!". Ku cari sampai ke ujung kampung. Ku tanyakan ke setiap orang adakah yang tahu siapa gerangan yang telah meraibkan sepeda pinjaman Bos ku itu? . Dan... tak satupun ada yang tahu. Aku menyesal kenapa aku tertidur tadi.

Sepanjang jalan pulang, aku berjalan kaki. Namun ada yang mengusik hatiku, tentang mimpi di tidurku tadi. Begitu rekat ku ingat wejangan seorang bijak yang tak ku kenal. Pancaran matanya menatapku penuh makna.

Setelah kujelaskan pada Bos apa yang telah menimpaku. Aku hanya ada satu pilihan, yaitu berhenti bekerja! Bos tidak memarahiku, bahkan tetap memberikan gajiku dan kelebihan sedikit padaku. Sepeda yang hilang itupun tak di perhitungkannya.


"Alhamdulillah....!" Aku bersyukur bisa melewati kesulitan ini. Hanya buku bekas Think and Grow Rich itulah satu-satunya yang ku bawa. Dan berbekal uang gaji sebulan serta pesangon inilah yang kemudian memaksaku untuk berpikir mengambil keputusan. "Haruskah aku pulang? lantas apa yang aku bawa pulang untuk menemui Ibu?" Pertanyaan pertama meghentikan satu langkah kakiku. "Atau aku kembali bertaruh, untuk tetap bertahan dan mencari pekerjaan lain?" Sebersit ide melintas di otakku. Dan hatiku pun menyetujuinya.

"Hasbunallah wanikmal wakil...! Nikmal Maula Wanikman Nasir..!" Ku sebut lagi dan lagi.

Aku mengikuti arah langkahku menuju Halte Bus. Di sinilah aku bertaruh dengan diriku sendiri. "Aku akan naik Bus yang berada paling depan. Jika Bus itu menuju arah ke kotaku,berarti aku harus pulang ke rumah. Dan apabila Bus itu menuju arah kota lain, di situlah aku akan mencari penghidupan .

Bus pertama ku lihat dari kejauhan menuju ke arah ku. Dan aku tak peduli Bus apapun itu namanya, aku tetap akan naik dan mengikuti kemantaban hati saja. "Hasbunallahu wanikmahwakil.., Bismillah.." Aku naik Bus itu dan berdiri berpegangan pada sandaran kursi Bus yang telah penuh oleh penumpang yang lebih dulu naik.

"Assalamualakum Mas, mau kemana neh?" Aku beranikan diri menyapa seseorang yang berada di dekatku.

"Oh Saya mau ke gresik Mas, pulang ke Pondok" Jawabnya sambil tersenyum tipis. "Lah Mas sendiri mau kemana ini?"

"Aku?" Aku bingung menjawabnya. "Aku mungkin juga ke sana" Akhirnya aku menjawab sekenanya.

"Ke Gresik juga ya? mau kuliah apa kerja Mas?" Tanyanya lagi tanpa merasakan sedikitpun kebingunganku.

"Kamunya ke Gresik kuliah pa kerja?" Tanyaku balik menanyainya, untuk sekedar memancingnya agar aku bisa mengorek sedikit tentang Gresik. Dan paling tidak aku bisa mengulur waktu untuk berpikir dan bisa menjawab pertanyaan selanjutnya yang ku perkirakan.
Diapun menceritakan sekelumit kisahnya selama menuntut ilmu di pesantren Mambaus shalihin Gresik.

Sesaat kami berhenti bicara di tengah ramainya para penumpang yang gaduh, dan larut dalam kediaman diri dan pikiran masing-masing. Dan detik itu Ada yang melintas lagi di otakku, yaitu tentang mimpiku kemarin siang.

"Mas Mawan nanti turun di mana?" Tanya pemuda yang memperkenalkan dirinya bernama Arul itu membuyarkan sedikit resahku tentang mimpi yang melekat di hatiku itu.

"Bagaimana kalau aku ikut kamu saja ke pesantren?"

"Ikut Mas? " Arul sedikit heran dengan jawabanku yang tak di sangkanya. Tapi kemudian dia hanya mengangguk saja.

Akhirnya tibalah kami di halaman pesantren yang menurutku sangat mewah ini. Setelah menginjak pelatarannya, aku justru bingung menentukan sikapku.

"Jangan kawatir Mas, aku akan membawa Mas ke pengurus dan Mas bisa secara detail menanyakan informasi apapun tentang pondok ini" Kata Arul yang memang masih 6 tahun di bawah umurku. Dan tak begitu mengerti sama sekali tentang gundahku.

Sesaat aku berdiri ragu di gerbang pesantren, ku lihat mobil yang akan masuk ke dalam pesantren itu. Aku dan Arul segera menyingkir.

"Itu Pak kyai Mas" Kata Arul ku jawab anggukan kepala. Ku lihat Seorang yang berwibawa sedang turun dari mobil tadi, tak jauh dari tempat kami.

Ku ikuti Arul yang berjalan mendekat dan mengucapkan salam pada Sang Kyai yang ramah itu.

"Ini siapa Rul?" Tanya Pak Kyai akrab pada Arul yang kemudian memperkenalkanku dengan sopan.

Tiga hari setelah itu...

Aku beranikan diri meminta ijin untuk menemui Sang Kyai yang kemaren bertemu di pintu gerbang. Entah kenapa, aku punya felling untuk menemuinya. Dan subhanallah, Pak Kyaipun tak keberatan menemuiku secara pribadi. Dan tujuan utamaku adalah menanyakan hal yang seperti terurai dalam mimpiku saat tertidur di poskamling kemaren dulu itu.

Di sebuah ruangan masjid, aku dan Pak Kyai bertemu dan bertatap muka secara langsung. Dan ku uraikan kedatanganku ke tempat ini dan juga ke gundahanku tentang mencari titian hidup.

"Kita manusia harus mengajukan proposal doa kepada Allah tempat kita meminta Anakku" Pak Kyai mengawali jawaban atas semua pertanyaan yang ku ajukan yang menurutku sedikit bercanda...

.....Kurang lebih 30 menit kemudian.

Aku mendengarkan sangat jelas apa yang di sampaikan Kyai santun di depanku ini. Petuahnya menguatkan niatku untuk menuntut ilmu di sini.

Setelah hari terangkai menjadi bulan. Akupun harus mengabari Ibu yang juga mungkin sedang menunggu kabar dariku. Aku mulai menulis surat sekalian mengirimkan sedikit ikhsan yang ku dapat dan masih tersimpan di dompetku.

Hari-hari kulewati dengan terus menyerap ilmu sebanyak-banyaknya dari Pak Kyai juga para Ustad-Ustadnya. Hingga kabar dari Ibupun membuatku menangis pertama kalinya dari sekian lama ku tinggalkan beliau. Ibu mengabarkan bahwa Ibu sangat bahagia mendengar aku sedang berada di sini, dan memintaku untuk tidak memikirkan ekonomi di rumah. Ibu mengabarkan bahwa ada beberapa orang telah mengembalikan uang Ayah yang dulu di hutang oleh mereka. Dan Ibu mulai merintis kembali usaha kecil-kecilan bersama kakak dan adik di rumah.

*****

Enam tahun perjalanan hidupku kemudian....

"Abi...ada yang di pikirkan? " Suara lembut menyapaku dengan kedua tangan langsung memijat pundakku. Aku menoleh padanya. Ku kecup keningnya dan ku elus perutnya yang membuncit.

"Tidak ada apa-apa Um, cuma teringat masa enam tahun lalu saja" .

"Ohya? bersyukurlah Abi.." Katanya begitu menentramkan. Dan aku selalu ingin menangis bila menatap mata sendunya yang tulus. Mengingat selalu pengorbanan dan cintanya padaku! Aku yang hanya seorang melata, sedangkan dirinya Seorang putri Kyai besar, namun dengan besar hati mau mengikutiku berjuang dalam mengarungi hidup selama dua tahun ini dalam merintis pesantren kecil di kampung kelahiranku.

Alhamdulillah...Alhamdulillah...Alhamdulillah...! Atas rahmat dan taufikmu Ya Allah..! begitu sempurna kau ciptakan skenario hidupku. Dan begitu tertata tanpa aku bisa menduga sebelumnya. Berawal dari hilangnya sepeda jengki dulu, ternyata engkau telah menuntunku untuk mencari jalan yang telah engkau tetapkan Ya Allah..!

Alhamdulilah...Alhamdulillah..Alhamdullillah..! Trimakasih pada Sang Kyai yang telah membimbingku dan mengikhlaskan Putrinya hidup mendampingiku. Dan Ibu...Ohh Ibu...! Doamu yang suci telah di kabulkan Ilahi Robbi. Dan Ayah...Ohh Ayah...! Amanahmu telah aku tunaikan..!

Alhamdulillah...!telah ku temukan jejak mimpiku Ya Allah...!

Sunday, May 24, 2009

Nasi koper

Perjalanan holiday minggu ini sangat menyedihkan bagiku. Langit tak hentinya mencurahkan "air rahmatnya" ke bumi yang dua bulan ini di landa panas 33 derajat . Bumi yang hampir tak bertanah, karna semua permukaannya terbalut semen. Dan di perutnya tertanam besi-besi penguat beton pencakar langit. Itulah sedikit gambaran negri kecil yang dimana aku terdampar jauh dari negri "gemah ripah loh jinawi" ku. Yacchh! Indonesia adalah negeri unik dengan dua musimnya. Tak panas dan tak dingin.

Hari ini aku sengaja mengunjungi Victoria park. Tamannya orang Indonesia di negri Hongkong yang padat.Di sini lah orang-orang Indonesia bebas bereksperimen. Dari mengeksplor penampilan dengan gaya yang "Keren abiz" sampe mengeksplor talenta dengan belajar dan berniaga. Yachhh! berdagang dengan cara mencuri-curi keamanan dari petugas Polisi yang berjaga di Taman itu. Karna kalau sampai ketahuan dan ketangkap berdagang di luar kontrak kerja di negri ini, maka siapapun itu akan di deportasi.

Aku mengawasi koper-koper kecil yang berjejer di stand "jualan" mereka. Kurang lebih ada sepuluh pedagang menjajakan nasi dengan banyak menu masakan pedas khas jawa. Aku berjalan pelan, sambil menenteng sandal jinjing yang sengaja ku lepas. Dan memilih bertelanjang kaki menapaki jalanan basah nan dingin. Dengan celana panjang hitam yang ku linting untuk menghindari basahnya hujan.

Jujur aku salut pada perjuangan mereka. Hujan-hujan begini tak surut mereka mencari penghasilan sambilan di luar gaji pokok mereka. Aku ingin sekali menikmati nasi dengan sambal goreng pedas dalam wadah kotak plastik yang berjajar rapi pada koper kecil itu. Aku sedikit tercengang melihat cara mereka mensiasati keamanan berjualan yang termasuk melanggar hukum di negri ini.

Dengan menaruh dagangan di dalam koper kecil begitu, maka sewaktu-waktu ada petugas lewat, para pedagang nasi itupun tinggal menutup koper mereka saja dan menutupi koper itu dengan baju, maka Pak Polisi yang galak itu akan mudah terkecohkan. "hmm...cara yang jitu kan?!"

Namun aku tak tega dengan tetesan air hujan yang jatuh di antara sudut payung mereka dan sedikit membasahi sambal goreng yang ingin ku nikmati. Salut dengan usaha mereka. Meski kurang memperhitungkan dari segi kesehatan dalam menjaga sesuatu yang masuk ke dalam perut pembeli.
"Alaaahhhh! perut orang Indonesia mah, tawar! ga mempan apa itu yang namanya lalat dan air hujan!" Begitu kata temanku saat aku enggan untuk membeli makanan itu.

Akhirnya inilah cerita basah di hari liburku. Tak ada yang wah memang, tapi cukup terkesan dengan fenomena saudara sebangsa dan setanah air di perantauan.

Thursday, May 7, 2009

Cahaya di ufuk nestapa

Jari-jarinya terus menari di atas keybord komputernya. Menerjemahkan ide-ide yang masih tergambar di papan imajinasinya
*****
Beberapa tahun sebelumnya, Erni hanya seorang gadis sederhana dan hanya tamatan SMA. Yang kemudian di nikahi oleh salah satu mahasiswa KKN{ kuliah kerja nyata} yang sedang mengemban tugas lapangan di kampungnya. Dan kini Sang suami itu telah menjadi dosen di sebuah perguruan tinggi terkenal.
***
Hingga dari pernikahan mereka, lahirlah dewadewi kecil bagi pasangan ini. Bayi kembar di lahirkan Erni setahun setelah pernihakan . Dan semua anugrah itu adalah kebangaan baginya dan keluarganya. Erni di sebut-sebut gadis beruntung. Punya suami berpangkat dan baik . Dan itu secara langsung mengangkat Status sosialnya di kampung. Yang mana semua itu masih sangat berpengaruh. Begitu banyak kata pujian mengantarkannya kepada rasa bangga. Dan Ia benar-benar mensyukuri keberuntungannya itu.
***
Berada di dekat seorang suami yang mempunyai pekerjaan mengajar. Maka Erni tak lepas juga dari buku-buku bacaan. Yang tanpa di sadari, semua kebiasaan membaca itu mengasah bakat terpendamnya. Diam-diam Erni menyadari talenta menulisnya . Yang kemudian berawal hanya sekedar mencoba. Ide-ide itupun di tuangkannya ke dalam tulisan, dan di simpan dalam file pribadinya.
***
Sejauh ini suaminya tak pernah tahu, kalau istrinya diam-diam menulis Artikel, esai, cerpen bahkan cerita panjang pun berhasil di rangkainya. Namun Erni masih belum percaya diri untuk unjuk gigi mempublikasikan tulisannya itu. Ia masih merasa bahwa tulisan2nya belumlah layak di publikasikan dan di baca orang banyak.
***
Hingga suatu hari Ia mendapat informasi dari internet, kalau ada sayembara lomba mengarang novel yang di adakan sebuah tabloid. Kemudian Ia memberanikan diri untuk membicarakannya dengan suami tercintanya.
"Mas.." Sapanya lembut pada suaminya .
"Hmm.." Jawab suaminya ringan. Tetap tertumpu pada buku yang di bacanya.
Erni mengambil beberapa file yang telah di print dan di simpan di sebuah map khusus. lalu meyodorkannya file itu pada suaminya."Coba Mas baca ini, dan kasih koment ya".
Suaminya sedikit terhenyak dengan sikap istrinya. "Eh, kamu menulis ya?" Tanyanya setelah mendapati nama istrinya tertera di akhir tulisan itu.
***
Erni dengan hati berdebar, menunggu pendapat suaminya. "Bagaimana Mas " Tanyanya tak sabar ingin segera mendapat penilaian.
"Hmm...bagus, mau di apakan dik?"
"Mmm.. ada sayembara mengarang novel, gimana kalau aku ikut?"
"Wow! sejak kapan kamu bisa menulis Dik? kenapa kamu tidak pernah membicarakan hobimu ini?"
Erni hanya tersenyum manja, dan dan menyandarkan kepalanya di bahu suaminya.
***
Maka ikutlah Erni dalam lomba tersebut dengan harapan yang tak terlalu tinggi. Siapa sangka Pada suatu hari, Erni mendapat kabar kalau novelnya menjadi juara dalam lomba tersebut. Dan kemenangan itu di nobatkan sebagai anugrah kedua, setelah anugrah pertama yaitu pernikahan bahagianya.
***
Kemenangan itu semakin melecutkan semangatnya untuk lebih rajin lagi membuat novel-novel baru . Di atas kemenangan masih ada kemenangan lain yang menanti! begitu pepatah mengatakan. Jika hari ini Ia memenangkan satu hal dalam hidupnya, bukan tidak mungkin Ia memenangkan sepuluh hal lain dalam hidupnya. Pikir Erni dalam hati.
***
Selanjutnya menulis adalah bagian dari dedikasi hidupnya. Hari-harinya adalah mencari ide tulisan, dan aktivitas menulis menjadi aktivitas penting yang tak dapat di ganggu gugat. Dan Ia berhasil mendapatkan kemenangan selanjutnya. Erni menembus penjualan bestseller bagi bukunya yang berjudul Cahaya di ufuk nestapa. Membawanya ke dalam posisi terkenal sebagai seorang penulis tanah air.
***
"Dik..., malam ini aku ingin..! yuk tidur! " Kata suaminya yang sebenarnya telah lama menunggunya menulis di sampingnya.
"Ingin apa Mas? tidur aja dulu, nanti nyusul ya! kurang dikit lagi! " Jawabnya masih berkutat pada monitor komputernya. Akhirnya tak ada kata lain yang dapat di ucapkan Suaminya. Sambil mendesah berat, suaminya ngeloyor tanpa semangat menuju kamar mereka. Memejamkan mata dengan memeluk sepi dan dingin di atas tempat tidurnya. Dan itu terjadi lagi dan lagi di malam-malam berikutnya.
***
Di suatu malam, Erni teringat akan sesuatu. Ia segera men-save tulisannya, dan sesegera mungkin menutup komputernya. Dari dua hari ini, ia ingin memberikan kehangatan pada suaminya yang entah telah berapa lama Ia lupa menunaikannya. Sebenarnya tidak lupa, hanya saja setelah berhenti menulis, badannya terasa lelah sekali. Ia merasa sangat berdosa dengan suaminya yang dua hari yang lalu di buatnya kecewa berat.
***
"Dik..." Bisik suaminya mesra.
"Apa...!" Jawabnya ketus dan membungkus tubuhnya tapat dengan selimut.
"Gimana sih..?" Suaminya mulai sedikit marah. Di panggilnya sekali lagi istrinya dengan lebih lembut lagi. Tapi Erni yang setengah tidur, menjadikannya kalap karna gangguan itu. Ia menjejakkan kaki seenaknya, dan ternyata mengenai perut suaminya hingga terjatuh dari tempat tidurnya. Dan yang memicu pertengkaran Erni dan suaminya malam itu, adalah kata-kata kasar Erni pada suaminya. " Cari aja yang lain! jangan ganggu aku!" Erni ngotot tanpa di sadarinya. Ia benar-benar lelah, karna dua hari ini, hampir Ia tak bisa tidur karna ide-ide di kepalanya menuntutnya untuk terus menulis.
***
Dan malam ini, Erni akan memberikan yang terbaik dari malam2 yang pernah di lalaikannya. Dilihatnya jam telah menunjuk ke arah angka 1:10 menit dini hari. ia melompat dari kursinya dan segera keluar dari gua idealismenya. Erni berniat ke kamar mandi di belakang.
***
Beberapa langkah sebelum tiba di kamar mandi, Ia mendengar lamat-lamat suara seseorang yang di kenalnya dari kamar pembantunya. Erni mendekat pelan dengan kaki di jingkat-jingkatkan. Dan...
Lenguhan itu jelas terdengar di teliganya. menggetarkan dinding tembok yang di buat menempelkan telinganya. Tubuhnya bergetar hebat.
***
Ia segera menggedor-gedor pintu itu. Nafasnya tersengal memanggil-manggil nama pembantunya yang masih sebulan ini di pekerjakannya. Dan akhirnya Ia mendapati suaminya di dalam kemar pembantu itu. Suaminya tertangkap basah dengan badan basah oleh keringat di sekujur tubuhnya yang masih kelihatan menegang.
***
Di pinggir sebuah danau Erni mendamparkan diri. Selama empat hari Ia minggat dari rumah. ia tak mampu menginjakkan kakinya di setiap tapak lantai rumahnya. Tak lupa sebelum kepergianya, Ia tetap menuliskan surat untuk suaminya agar menjaga kedua anaknya. Buku betseller yang di tulisnya kini menggambarkan tokohnya adalah Erni sendiri. Bahkan rasanya Ia tak ingin lagi membawa nyawa yang terkandung dalam raganya. Karna hidup terasa begitu menyakitkan.
***
Ia menginap di sebuah hotel mewah yang menghadap ke danau di bali. Dan setiap hari Ia menghabiskan waktunya di tepi danau itu. Banyak di lihatnya berpasang-pasang orangtua berlibur di tempat itu dan menemani anak-anak mereka yang seumuran dengan anaknya. Mempertontonkan kebahagiaan dalam kebersamaan satu keluarga. Ada rasa yang menggigit di kalbunya. Kerinduan akan kehangatan itu kembali mendesaknya untuk mengakui kesalahannya sendiri. MANUSIA MEMANG TAMAK DAN SERAKAH! itulah hardikan sisi dalam hatinya. Ia menyadari bahwa apa yang di lakukannya telah mendatangkan nestapanya hari ini.
***
Ia mengeluarkan handphonenya yang beberapa hari ini tidak di aktifkannya. Ia buka dan beberapa sms masuk berkali-kali. Di biarkan sampai sms itu masuk semua ke dalam inbox hp nya. Berpuluh-puluh sms kemudian di bacanya satu persatu.
"Dik ampuni aku, demi anak kita!"
"Dik di mana kamu..?"
Dan berpuluh-puluh sms senada membuatnya Ia kembali histeris. Airmatanya yang hampir kering itu tiba-tiba membanjir. Beberapa sms pemberitahuan pesan mailbox yg masuk di dengarkannya. Suara mungil Aldi dan Alda terdengar menyayat hatinya.
"Mama di mana? kalau Mama ga pulang Alda ga mau makan!" Terdengar suara alda mengancamnya di pesan mailbox.
"Dik, Alda demam, tolong pulanglah, kalau mau menghukum , hukumlah aku dik, jangan anak kita" Suara selanjutnya adalah suara suaminya yang terdengar mengkhawatirkan putrinya.
***
Erni tiba di rumahnya jam sembilan malam. Di rumahnya hanya ada ibu mertua dan ibu kandungnya. "Er..kamu ini ada apa sih? apa yang terjadi? Alda di bawa ke rumah sakit ini lo" Kata Ibunya dengan tetesan airmata yang semakin memedihkan hati Erni.
'Bu antar aku kerumah sakit, di rumahsakit mana?" Tanyanya cemas.
Akhirnya dengan di antar menggunakan motor oleh tetangganya, Erni memasuki halaman rumahsakit dan segera mencari daftar nama anaknya.
***
Di lihatnya Alda terbaring terpejam. Ditanganya tertancap jarum infus . Erni segera mendekati Putrinya itu. bapak kandung dan bapak mertua serta suaminya tak lagi di hiraukannya. Ia mengelus putrinya yang tak tahu kedatanganya.
"De Ada..., Mama pulang sayang..." Erni mengecup kening anaknya. Namun mata mungil dewinya itu pun masih juga terpejam.
"Dia baru saja di kasih obat tidur Er, jadi biarkan dia tidur sebentar" Kata Bapaknya kemudian.
"Alda baik-baik saja kok kata dokter, cuma demam biasa saja. Tenang saja Nduk" Mertuanya menyambung. Erni hanya bisa mengangukkan kepalanya. " Trimakasih Pak.!" Jawabnya lirih di sela isaknya yang tertahan.
***
Beberapa menit Ia memandangi wajah sayu anaknya. Dalam hati Ia menjerit "Ya Allah sembuhkanlah anakku, aku berjanji sebagai Bundanya tidak akan meninggalkannya lagi, dan memperbaiki sikapku, aku akan berkorban untuknya! Ya Allah..., rasa sakit atas peringatanmu padaku, ku tebuskan untuk kesembuhan anakku..! Ya Allah ampuni hambamu ini...!"

Sunday, May 3, 2009

Ada pelangi di hatimu

Dia gadis lugu bernama Aning. Yang kini mulai beranjak ke masa remaja. Ayahnya sakit lumpuh bertahun-tahun. Yang diderita semasih Ia berumur 4 tahun yang silam. Sang Ayah adalah seorang pekerja keras, membantu pekerjaan keluargaku selama bertahun-tahun. Yang kemudian , akhirnya keluarga ini harus terlunta-lunta karna terpaksa merelakan harta bendanya untuk kesembuhan penyakit Sang Ayah tercinta.

Dulu..., semasa ujian tuhan mendera keluarganya. Aning masih belum mengerti benar apa arti semua itu. Dia masih tertawa-tawa saat berada di gendonganku. Hanya mempermainkan dan mengusap airmataku dengan tangan mungilnya. Di saat airmataku mengalir tak terduga di pipiku , kala aku memandang Ayahnya yang tak berdaya di tempat tidurnya dengan tatapan mata putus asa.

Kepedihan itu masih sangat membekas di hatiku. Aku turut merasakan kedukaannya. Apalagi Sang Ibu yang kemudian di gosipkan selingkuh dengan suami tetangga. Kehidupan keluarga ini semakin carut marut tak tersketsa. Aning sering datang ke rumahku, sekedar bilang " Mbak aku lapar.." Sambil mengacak-acak rambutnya yang kumal. Kusuapi dia dengan kasih sayang. Aku mandikan tubuh kurusnya dengan kelembutan. Mataku selalu basah bila menatap kebeningan telaga matanya yang jujur.

Hingga roda kehidupan juga menjungkir balikkan bahtera keluarga besarku. Hari-hariku pun ku rasa tak lebih baik dari kepedihan Aning. Aku tak lagi bisa menatap matanya. Karna aku sendiri susah payah menutupi mendung di mata dan hatiku. Berusaha agar orang lain jangan sampai menatap mataku, dan mendapati betapa keruh di dalamnya.

Kini Aning telah remaja. Dan aku mulai menua. Tak ada yang berubah dari hati masing-masing. Kehidupan yang juga terasa tak berbeda dari dulu. Simpati kami masih terasa walau mungkin Dia tak ingat masa-masa lampau itu.

Hanya saja, mungkin dia lebih kuat dariku. Karna ku rasa, aku mulai bercermin darinya. Setelah aku tahu, betapa gelombang pasang ujian kehidupannya seperti tak mau berhenti menghampiri dirinya. Dan mendamparkannya pada seonggok batu karang kehidupan yang tajam. Dan membuatnya kembali terpelanting, hingga hanya ada satu asa yang tertinggal di relungnya.

Musibah kembali mendera keluarga ini. Aning yang masih 16 tahun. Merasa perlu merubah nasibnya. Ia membulatkan tekadnya. Dan mengeraskan keberaniannya. Berbekal identitas yang di palsukan alias di tuakan umurnya, Ia ingin mengadu nasib ke luar negri. Seperti halnya diriku. Menjadi buruh migrant adalah pilihan. Damparan terakhir dari semua ketersudutan. Akhirnya masuklah Aning ke sebuah PJTKI lewat sponsor yang mengenalkannya. Ia pun mulai mengikuti karantina .

Hingga di suatu hari, saat mengikuti training masak di BLK. Aning mengikuti tutorial yang di ajarkan. Dengan bekal pengalaman yang hampir tak ada. Bahkan, Ia yang tak pernah mengenal macam-macam bentuk perabotan dapur modern. Sedikit membuatnya menyiapkan ingatan dan kejelian lebih tajam.

Namun malang tak dapat di tolak. Kala Ia mendapatkan piket dapur di suatu pagi. Aning melakukan kesalahan fatal yang mengakibatkan kompor gas yang di gunakannya itu meledak hebat. Dan sasaran utamanya adalah wajah Aning.

Luka bakar cukup berat di derita Aning. Setelah dua bulan di observasi di rumah sakit dengan biaya di tanggung PT di mana Ia kecelakaan. Kini Wajahnya menjadi cacat. Hidupnya semakin redup saja.

Saat ku katakan " Sabar ya Aning..". Dia hanya menjawab dengan senyum masam . " Kalau ada pilihan lain, tentu aku akan mengatakan, kalau aku sudah sangat bosan! bosan! dan teramat-amat bosan mendengar kata itu Mbak! tapi apakah aku mampu melawan takdir ini? aku hanya menunggu janji Allah yang mengajarkan sabar pada umatnya Mbak!" Tukasnya mengecam.

Pasrah adalah pilihan terakhirnya. Lambat laun Ia mulai bisa menerima keadaannya . Mengubur keinginanya untuk merubah nasib ke luarnegri. Karna impian itu hanya akan singgah di tidur siangnya.

Sekarang, aku yang justru masih di perantauan. Masih bingung menentukan jalan hidup di persimpangan. Sedangkan Dia yang selalu menutup wajah saat berjumpa tetangga, Ternyata telah menemukan pasangan hidup yang di kirim tuhan padanya. Aning menikah.

Saat menceritakan sekelumit kehidupan sederhananya. Ku lihat senyum tulus mengembang dari kedalaman hatinya. Dia telah menemukan arti "sabar" yang dulu pernah ingin di pungkirinya. " Sabar ya Mbak..!" Aning mengembalikan pinjaman kata-kataku dulu. Dan.. akhirnya Aku hanya mampu tertawa masam.

Aning...Kau tak punya matahari cerah! tapi kau punya pelangi yang indah..!

Friday, May 1, 2009

Kasih iboe

Siapa yang paling berjasa setelah Allah membentukmu?...
Siapa yang paling tersakiti dengan hadirnya engkau menghirup udara dunia?...
Siapa yang akan menangis pertama kali saat melihat kesedihanmu?...

Kau pernah menghuni ruang rahimnya.
Dalam pertapaan panjang selama sembilan bulan!

Rerintih dedaun kering...
Merajuk rendah diri di bawah batang pepohonya..
Setia menanti angin sepoi menggiring..
Juga tetesan embun sekedar membasah!

Si daun kering hanyalah reruntuhan..
Terserak di bawa angin, maupun membusuk..
Adalah tetap tiada pernah segar di pandang mata!
Namun....

Betapa yang hijau melambai di dahan itu..
Adalah wujud kasih dari lapuknya..
Si daun kering tiada minta..
Untuk di puja para pemandang..
Dirinya...hanya merasa abadi bersama kerelaan!

Tuesday, April 28, 2009

wasiat untuk diri sendiri

Aku lelah mengarungi sensasi. Aku lelah mengikuti emosi. Aku lelah bermain hati.

Aku tak ingin lagi melawan arus. Aku tak mau lagi berenang ke tengah samudra.

Aku akan selalu mengingat keluhan ini! keluhan yang menandakan bahwa aku hanya manusia biasa yang tak banyak daya.

Silahkan menuduhku pecundang, munafik,atau lebih dari pada itu!
Itu lebih baik daripada sekedar terseok-seok mencari apa yang di inginkan hatiku.

Aku tak mungkin menaiki perahu yang lain, karna satu kakiku masih menancap di perahu yang lainnya.

Ku akui semua keteledoranku .
Ku akui semua keterlaluanku.
Ku akui semua keterlenaanku.
Ku akui semua kebodohanku.

Perubahan tak berarti menggantikan.
Perubahan tak berarti menghilangkan.
Perubahan tak berarti menghanyutkan.
Perubahan tak berarti melupakan.

Yach! aku akan berhenti berkelana mencari sesuatu yang tak pasti ku butuhkan.
Ku akan kembali pada wujudku tanpa topeng sakit hati yang merubah kejujuranku.

Wednesday, April 22, 2009

Ia pergi setelah aku kembali.

Aku memeluk erat tubuhnya yang kurus. Dan ku pastikan hatiku telah ikhlas melakukannya.
"Apa kabarmu Neng?" Bisikku sambil ku elus pundaknya .
"Ya beginilah Nis..' Jawabnya lesu.

Kulepaskan pelan pelukanku. Ku tatap matanya yang redup menunduk. Ku arahkan pandanganku ke sosok di gendonganya. Bayi itu tersenyum nyengir padaku. Memamerkan dua giginya yang baru tumbuh. Ku lihat lagi wajah Neneng yang memerah.
"Loh baru pulang kok di suguhi tangisan seh?" Candaku menghiburnya. Walau aku tak tahu persis suasana yang ada di hatinya, paling tidak aku sedikit bisa menerka, kenapa Ia ingin menangis saat bertemu denganku.

Perpisahanku sendiri dengannya, juga dengan kampung halaman ini, kurang lebih telah terlewati selama tiga tahun sudah. Tak ada sebab maka tak mungkin akibat terjadi. Begitulah pepatah mengatakan.

Sebelumnya.., hubunganku dengan Neneng adalah Teman karib. Seorang sahabat yang melebihi saudara kandung, mungkin bisa di katakan seperti itu. Tidak hanya kebersamaan saat masa kecil, dari SD sampe SMP, dari tidur sampe makanpun, aku takkan bisa melakukanya jika tanpa dia berada di sampingku. Begitu pula sebaliknya.

Namun...semua berbalik arah. Setelah aku mempunyai teman dekat. Teman yang lebih dekat di hatiku daripadanya. Mulanya, kukira tak ada lagi teman yang lebih dekat selain Neneng sahabatku ini. Dia pun tahu aku telah di bakar api asmara. Dia pun mendukung, bahkan dengan setia dialah "baigon"ku. Dan selalu setia ku ajak menemaniku saat bertemu Cowok tetangga kampung yang ku sebut sebagai Pacar itu.

Tapi hubungan itu akhirnya kandas sebelum sampe di ujung jalan. Orangtua cowok itu tahu , kalau Anak Lelaki nya sedang berhubungan lebih denganku . Mulanya aku tak bisa mengerti, karna kalau di nilai dari materi. Keluargaku tak sebegitu jauh di bawah keluarganya.

Dan... betapa kerdilnya aku seketika itu, saat mendengar dari mulut Neneng. Kalau keluarganya tidak mengijinkan Anaknya berhubungan denganku, karna latar belakang orangtuaku. Ibuku di sebut-sebut sebagai pelacur oleh orang-orang kampung.

Berbulan-bulan aku seperti tak bisa menerima kenyataan. Sampai types semakin membuatku tak berdaya. Neneng pun setia menemaniku. Karna Ibuku jauh berada di luar pulau. Dan Ayah sendiri, memang tak begitu luwes dalam merawatku saat sakit.

Demi sebuah titah, aku mulai menyadari. Bahwa apapun di dunia ini, yang ku sayang belum tentu itu yang terbaik dan bisa ku miliki. Neneng pun bilang begitu. Sampai kita lulus SMA.

Ibuku memintaku mengikutinya ke Mataram. Kuliah di sana. Kata Ibu, Beliau ingin dekat denganku, dan bisa menjagaku. Saat ku minta "kenapa Ibu tidak pulang saja ke kampung ini? bersamaku? menjagaku juga Ayah?" Saat ku layangkan pertanyaan itu, Ibu hanya menunduk . Dan meninggalkanku tanpa jawaban. Selain kebekuan hati yang menggondok di dadaku.

Tapi...akhirnya ku ikuti saran Ibu, selain itu, aku ingin meninggalkan semua mimpi buruk ini. Dan..., tak lupa aku pamit pada Mantanku. Kita bertemu di sebuah pohon kecil di pinggir sungai.
"Nis, aku tak bisa berpisah denganmu! aku tetap akan menikah denganmu! kalau tidak aku takkan bisa hidup!!" Katanya sambil memelukku. Ku bungkam mulutnya. Karna aku miris mendengar kata2nya.

"Aku tak ingin mendengar itu Di.." Akupun mulai menangis melepas rasa yang campur aduk di hatiku. Antara kerinduan dan tak tega meninggalkannya.
"Aku sudah bilang sama orangtuaku Nis, aku tak mau di halangi!" Lanjutnya dengan terus menatap tajam menerjang mendung di mataku. Kutatap balik matanya yang juga membasah. Kami tak bisa berkata-kata lagi. Tiba-tiba...
"Apa-apaan Di? aduh gimana seh?" Aku panik saat ku lihat darah mulai menetes dari lengannya.
"Nis, kita satukan darah kita sebagai sumpah, kita takkan berpisah!" Pintanya. Aku diam sejenak. Menatapnya lebih dalam. Dan... pelan, ku cucup darah yang keluar dari lenganya. Mungkin sangat mengerikan jika ada yang melihat kejadian itu. Tapi kurasakan keharuan dan cinta yang begitu mendalam saat ku tempelkan mulutku menyedot sedikit darah itu. Dan....

"Akh!" aku menjerit. Adi telah menggoreskan cutternya di lenganku juga. Darahku mengalir, karna robekan cutter itu cukup lebar. Adi segera melakukan hal yang sama yang tadi aku lakukan. Lalu dengan kasih sayang dia segera menyobek kain kaosnya, dan membalutkannya di lenganku. Tak sedikitpun kurasakan perih. Yang ada hanya rasa melayang yang sebelumnya tak pernah ku rasakan.

Itulah pertemuan terakhirku dengan Adi. Berbalut ikrar untuk tetap menyatukan hati. Dengan cutter itu, aku dan dia menggoreskan simbul "love' di sebuah batang pohon jambu air di situ. Hingga suatu pagi aku harus pergi. Neneng dan juga Adi mengantarku sampai bandara. Sedangkan Ayah tak ikut di rombongan itu, karna Ayah telah pergi dari semalam meninggalkan rumah. Mungkin Ayah kecewa karna Ibu membawaku.

two years ego..
Aku pulang ke kampung halaman ini. Orang yang paling ku rindukan adalah Ayah dan adik, setelah itu Adi dan Neneng. Betapa rasa kangen itu hampir meledak, di sebabkan hubungan kami terpaksa terputus akhir-akhir ini.

Aku segera lari ke rumah neneng yang tak seberapa jauh dari rumahku. Ku panggil namanya saat masih di pelataran. Akhirnya sampai juga aku di ambang pintunya. Tapi.... betapa kagetnya aku, yang ku temui pertama kali justru Adi. Aku bingung di antara tak percaya dan terkesima. Aku segera memeluknya, saat dia juga memanggil namaku. Tak peduli tempat tak peduli suasana.

Tapi suka cita itu segera lebur bersama teriakan Ibunya Neneng. Atau yang biasa ku panggil Bu lik. Dia menghardikku keras-keras, sampai para tetangga pun mendengarnya.
"Dasar Lonte! kayak ibunya! sana kalau kamu mau sama suami orang! kamu ngondol saja di komplek!!"
Seketika itu, Adi melepaskan pelukanya juga. Aku masih tak mengerti.

Lalu kulihat Neneng yang keluar dari kamarnya dengan perut buncit terbalut daster. Dia juga kaget melihatku terpaku. Aku masih tak mengerti apa yang terjadi. Atau mungkin akulah yang tak mau mengerti tentang semua itu.

Aku lari sekuatnya. Tubuhku rasanya hanya ada kepala saja yang menancap tanpa tenaga. Dan sejak saat itu, tak lagi menunggu malam, aku segera menelpon Ibu, untuk menjemputku. Aku pun kembali ke Mataram dengan luka-luka sayatan yang tak pernah mau mengering.

Three years leter...

Aku sudah mengikhlasnya. Mulanya karna aku lelah memikirkanya. Lama-lama aku benar-benar melepaskannya. Aku menginjakkan kembali kampung ini. Rumahkupun telah rapuh setelah lima tahun tak menikmati sapuan tanganku.

" Nis, maafkan aku..." Neneng mengguguk. Aku menengadahkan wajahnya tepat ke arahku.
"Aku sudah ikhlas Neng, percayalah... " Tak hentinya aku tersenyum menggambarkan pelangi di hatiku. Dia semakin menangis, sampe bayinyanya pun ikut menangis.

"Sudah...sudah..." Ku tepuk bahunya dan kembali kupeluk dirinya. " Ini anak kedua kalian ya?" Tanyaku kemudian, berusaha mengalihkan suasana sedih itu. Ia mengangguk.
"Tapi..., tapi Adi... " Tangisnya semakin pecah.
"Kenapa dengan Adi Neng? jahat ya? ga sayang ya?" Rajukku. Ia menggeleng.
"Dia telah pergi Nis..."

"Pergi? kemana? meninggalkanmu? hah?! kurang ajar sekali dia? kemana perginya Neng?" Serbuku, yang mulai mengindahkan terkaanku tentang kesedihannya bertemu denganku. Ku kira Ia masih sangat merasa berdosa, seperti dalam surat-surat yang di kirimkanya padaku selama tiga tahun ini. meminta maaf padaku. Karna semua di luar kendalinya. Tapi orang tua merekalah yang memaksakan.

"Ia meninggal dunia Nis! Ia sengaja bunuh diri! " Jawabnya tak ubahnya petir yang menyambar batok kepalaku. Dan kurasakan hanya kilatanya saja yang menjilatku hingga punah. Aku tak kuasa. Dunia tak lagi bercahaya ku rasa.

Dia meninggalkanku selamanya! sebelum permintaan maaf di ucapkannya langsung dari bibirnya padaku..! Adi.. aku ingin kau meminta maaf padaku! kenapa kau cepat meninggalkanku sebelum kau melihatku tersenyum di hari ini?" Jeritku dalam kebekuan.

Monday, April 20, 2009

Ku bersedih tanpa sebab

Pagi dengan semburat cahaya mentari yang menghangat. ku bersedih tanpa sebab yang pasti. Satu minggu ini memang pekerjaanku full, sebagai manusia yang punya keterbatasan tenaga, bekerja 16 jam perhari menggunakan tenaga tangan dan kaki, memang cukup membuatku kelelahan. Dan pagi ini.... tiba-tiba berlintasan wajah-wajah orang yang kucintai namun mengkhianatiku. Orang-orang yang pernah mematahkan semangatku dan merapuhkan ketegaranku.

Aku menyesali kebodohanku, yang memikirkan orang lain di atas kepentinganku. Kini tak ada yang satu pun mereka yang tahu, tetes-tetes peluh membasahi pori-poriku. Dan pagi ini.... Bukan hanya peluh saja yang menetes, tapi airmatakupun jatuh tanpa ku sadari. Dan semakin deras kala tanganku sepertinya enggan untuk mengemban tugasnya.

Sampai akhirnya aku lari ke lantai atas, yang seminggu ini tak ada waktu lagi ku bersua dengan senja. Aku membuang nafas berat berkali-kali, menariknya pelan. Tapi dadaku terasa sesak sekali. Aku harus menangis!!!.

Setelah sepuluh menitan, ku guyur kepalaku dengan air yang terpancur dari kran air yang biasa kubuat untuk menyiram bunga. Dan sebisa mungkin, ku sembunyikan sembab yang membekas di lingkaran lelah mataku. Tak perlu siapapun tahu. Karna memang tak kan ada yang mau tahu.

Sesaat ku pandang ke langit cerah. Ku tersenyum padanya. Mendung tak berarti hitam...!!! Hidup juga bukan hanya untuk di khayal!!! Yuni... kau lebih beruntung dari banyak wanita-wanita lain yang lebih malang darimu!!! AKU TERSENYUM. Kuakhiri kesah dengan memaksakan tersenyum untuk menghibur diri dalam kehampaan hari.

Sunday, April 12, 2009

i love my bobo

Hari ini aq baru aja pulang liburan, badan lelah karna dr jalan-jalan nemenin teman shoping, padahal shoping adalah kegiatan yg paling aq tidak suka. Setelah masuk rumah, betapa kagetnya aq, setelah mendapati nenek{bobo}mjk ku, sudah dengan keadaan tangan di gendong, dan bibir jontor, bahkan sebagian wajahnya yang keriput itu , ada luka-luka kecil menggores.
Aku langsung panik dan menghujaninya pertanyaan.
"Bobo..timkai a..?? timkai wui kam yong a..." Aku benar2 panik, sampe ingin menangis.
"Tik to la Asih, ngo wan lei emto, ngo mbe jikei dai isang o..." Jawabnya yang artinya, { aq jatuh, asih.., aq tak bisa menghubungimu, makanya aq pergi ke dokter sendiri.
Aku langsung meemluknya, hatiku begitu menyesal. Padahal biasanya sebelum pulang jam 7 malam, aq musti telpon Bobo menanyakan mau makan apa, ato apa..!
Oh Bobo..., beliau telah berusia 81 th, menyayangiku, sering membantu pekerjaanku jika aq tak ada waktu mengerjakannya.
"Tu em ci Bobo...." Berkali-kali aq minta maaf, dia hanya tersenyum dan bilang," Iya Asih, orang tua memang ngrepotin ya, sebenarnya lebih awal pergi ke alam baka, itu lebih baik ya..!"
" Timkai lei kem kong a..?" Tanyaku kenapa Ia bicara begitu. Beliau justru ber filusufi.
"Kamu dengar pepatah cina Asih? umur 50 ke atas, bahwa satu kakinya telah berada di pinggir kubur??"
Degggg!!! Aku hanya menatapnya. Lalu beliau menertawakan aq... " He..he... Kamu juga siap-siap Asih..."

Saturday, March 21, 2009

cerita masa lalu yang lucu

Ada dua cerita lucu, yang apabila aku mengingatnya selalu membuatku tak mampu menahan tawaku sendiri. {mungkin aku menrindukan anak itu}

Suatu hari sewaktu Aku masih di indonesia.
Kisah menceritakan....
Aku pergi ke warung bersama suamiku, dan di warung itu ada karyawan seorang gadis yang sedikit{iQ rendah}, yang menyukai suamiku. dan aku yang juga tentang hal itu, jadi suka nggodain dia . Suatu kali aku menggodanya..
Aku: "Eh Nil, neh ada Janoko datang? gimana, mau ga cuciin bajunya? aku capek Nil!"
Dengan malu-malu dia menjawab. " Ach Mbak ini, jangan gitu dong, Hmm...kemaluanku besar Mbak"
Semua yang mendengar di situ langsung...GGGGRRRRRRRRR!! tertawa , bahkan sampe ada yang tersengal-sengal karna mendengar gramar bahasa indonesianya si Nila.
Alih-alih ingin bilang" punya rasa malu yang besar, eh..malah bilang kemaluannya besar"
Ha..ha...ha



Satu lagi kejadian lucu itu.
Cerita mengisahkan....

Di suatu malam Aku agak bersungut-sungut, entah apa masalahku, tapi yang pasti semua hampir kena getah itu, tak terkecuali anakku. Malam itu, dia ingin tidur bersamaku.
Dia bilang:" Ma, malm ini aku tidur di kamar Mama"
Jawabku :" Ikh, udah gede kok masih minta tidur sama Mama sih?"
Dia jawab:"Aku takut tidur sendirian Ma"
Balasku :"Udah segede ini masih ga berani tidur sendirian? hah?"
jawabnya:"Yach.. Mama juga, sudah segede itu, masih minta di temenin Papa tiap malam! kalau begitu, mulai hari ini, Mama tidur di kamar sana{menunjuk kamar sebelah} dan Papa tidur di kamar sini{menunjuk kamar utama} dan aku tidur di situ{menunjukkamar tengah}.
Sesaat aku saling berpandangan dengan suamiku, aku bingung memeberi respon dan menjawab apa yang di katakannya! Yach...akhirnya ngalah dech! ha..ha..ha


Thursday, March 12, 2009

Bila Rasa Adalah Kiasan


Ketika seseorang mengucapkan pujinya padaku..
Aku merasa tersanjung.
Ketika seseorang mengetahui sisi keburukanku..
Aku merasa malu.
Menjadi diri sendiri..Se-mudah kala mengucapkannya.
Tapi menjadi lain, saat dalam ketersudutan akan pilihan.
Kadang karna ingin merasa kuat..
Harus ku sunggingkan senyum di sudut bibir.
Walau mungkin otot-otot leher sedang meregang kencang.
Entah.. haruskah menangis atau malah tertawa..
Melewati hujan panasnya cobaan hidup?
Menjadi Primadona di atas Permadani kehidupan..
Adalah impian setiap insan!!
Menginginkan Dunia selalu terang, mungkin sesuatu yang serakah.
Lantas dosakah jika hati meronta...
Kala terpaksa menerima badai petirnya??

Wednesday, March 11, 2009

Kangenku padanya

Dari dia...untuk dia.. hanya dia...
Yang slalu ada...tak pernah enyah...
Di dalam dada..

Tentang putraku

Selama delapan tahun enam bulan aku meninggalkannya, dan tahun ini memintaku untuk pulang..pulang dan pulang.
Ku tinggalkan saat berumur delapan belas bulan, hingga kini sepuluh tahun sudah.

Ada yang membuatku enggan, tentang hubunganku dengan Ayahnya. yang telah membuatku belum bisa memaafkannya dengan arti menerimanya. Walau aku tahu memaafkan tak berarti menerima! tapi... kekerasan kepalanya untuk tetap tidak akan melepasku! adalah ganjalan yang sungguh menghantuiku!!
Tak tahu ini bentuk cintanya atau sekedar untuk menjadikan jalanku terkatung. Tapi aku berusaha menghargainya.
Aku sangat merindukan Putraku, yang hanya berharap aku ada di sampingnya, pun aku belum bisa mengabulkannya!!
Ku coba menjelaskan, bahwa masih banyak yang dia perlukan, dan aku berjanji waktu yang di tunggu itu akan datang.
Jawabnya" kalau begitu, setiap permintaanku , harus di kabulkan!"



Tuesday, March 10, 2009

Sang Kupu-kupu


Dia.. hinggap di setiap daun, meronakan warnanya yang meranum.
Dia terbang di cerucut cemara, membiaskan keglamoran sesaatnya.
Dia terbang tanpa lelah dengan keyakinan, merasa indah pun dalam kerendahan.
Dia tetap kuat dalam lapuknya bulu di tubuh dan sayapnya.
Dia hanya kiasan.
Dia hanya ilusi.
Dia hanya mimpi
Sang kupu-kupu Malam...{paterpan}
Ada yang benci dirinya...
Ada yang butuh dirinya...
Ada yang berlutut mencintainya...
Ada pula yang kejam menyiksa dirinya..
Ini hidup wanita si kupu-kupu malam..
Bekerja bertaruh seluruh jiwa raga...
Dia tersenyum, kata manis merayu memanja..
Kepada mreka yang datang..
Dosakah yang mereka kerjakan..
Sucikah mereka yang datang...
Kau tersenyum, dalam hati menangis...
Kau menangis di dalam senyuman..
Yang terjadi...terjadilah....
Yang dia tahu Tuhan penyanyang umatnya...

Wednesday, March 4, 2009

Pingshan




Di awal musim semi yang indah, yang bagiku adalah yang ter elok di sepanjang musim. Di Ping shan { Gunung yang di ratakan} adalah di mana apartemen ini berhadapan. Setiap sore aku selalu menyempatkan waktuku untuk menghirup udara sejuk, dan menikmati senja di sini. Sedikit kecewa dengan kabut yang menyelimuti di minggu terakhir ini, membuatku kesepian karna beberapa saat tak bertemu Megaku. Tak ada cerita paling berkesan di sepanjang hari yang rutin, selain sekelumit kesan tentang pingshan dan senjaku.

Friday, February 20, 2009

Jika ada maafmu,maafkanlah aku..


Di saat memiliki keindahan...yang paling tak inginkan adalah kehilangan darinya!
Dikala memilih mencinta... tak terbersit,bahwa suatu ketika harus tersakiti dan menyakiti!

Aku tetap mencintainya dari ketersembunyian hati yang terdalam..
Ku tetap mendo'akan kebaikanya, kendati bukan denganku kebahagiaanya terbagikan..


Kusedikit menyesal,sebab perasaan itu slalu memecah konsentrasiku untuk mencintai yang lain.
Aku merindukanya dibalik kerinduan orang lain yang mencintaiku...
Hingga aku bosan..! bosan menerjemahkannya.. !bosan untuk berharap bahwa aku bisa menghalau rasa itu.

Cinta adalah rasa yang misterius..datang dan pergi dengan indah dan angkuhnya!
Ku tak ingin lagi berusaha melupakanya.. sampai memory ingatan terpenuhi oleh kenangan baru yang lain.

Maafmu....ingin ku rengkuh dari yang mencintaiku di sana...
Aku terlalu naif menyambut kehadiranmu..
Namun tak sebersitpun ku inginkan ini terjadi..
Berilah waktu pada hatiku untuk menepi..untuk berbenah..
Bukan ku tak menerimamu..hanya hatiku belum siap dicintai...

Thursday, February 12, 2009

mencintai"sangat mudah" (joanna wang}


I love you
Say we're together baby
You and me

I can only give my life
And show tou all i am
In the breath I breathe
I will promise you my heart
And give you all i am
If it takes some time

If you tell me you don't need me anymore

That our love won't last forever

I will ask you for a chance to try again

To make our love a little better


Say you hardly know
Exactly who i am
So hard to understand
I knew right from the start
The way I felt inside
If you read my mind


Remember when you used to hold me

Remember when you made me cry

You said you love me

Oh you did

Yes you do


I love you....I need you

Say we're together baby

You and me......

Sunday, February 8, 2009

Ku ingin mengatakanya ..tapi tak kuasa


Hmm..aku bingung harus darimana dulu aku menuliskankannya..!


Aku ingin mengatakan..kalau aku butuh banget laki2!kasihsayangnya...kekuatanya...dan perlindunganya!

Pernah hatiku benar2 mencintai..

Pernah juga aku hampir tak ingin bernyawa karna luka hati yang tiada terperi..

Sungguh ku tak mengerti, saat datang sesuatu yang kucari dan ku impikan , slalu ada pengahalang yang mengakibatkan ketidak bahagiaan..

Setelah pengkhianatan suamiku...pergilah kekasihku..dan datang pacar baru!ehmm...

Semua bagai manik2 di kehidupan hitam-putih cintaku..

Aku tersenyum karnanya..juga tetap tersenyum kala menangisi kepergian mereka!dan tetap tersenyum menyambut kehadiran cinta baru yang ada..


Hanya saja kenapa masih saja aku merasa hampa?

Sepertinya semakin tipis kepercayaanku pada sosok laki2?

Membiarkannya ataukah harus kulawan perasaan ini?


Katakan padaku..wahai yang tahu arti cinta..yang pernah mencintai..dan yang pernah di cintai...?

Apakah sendiri itu mati, atau menyendiri itu sepi?lalu knapa kebersamaan tak jua meng abadi?


Banyak sekali yang tak kumengerti dari ikatan takdir yang telah melingkariku..


Ada sosok cinta baru yang mencintaiku..

Dia benar2 memberikan ruang bagiku..

pun tak pernah mencurigaiku..

Ada sedikit karaguan melangkah..

Dia meyakinkanku..tapi tetap hatiku dingin..

Pun telah kucoba memberi pengertian..

Friday, January 30, 2009

memutuskan juga tak semudah merajut


Saat aku berpikir untuk memutuskan sesuatu yang aku sayang...Aku slalu berpikir dan itu menghambat niatku.

Ternyata memutuskan juga tak semudah merajutnya! sesuatu yang kurajut dengan cinta dan pengharapan yang dalam, kini harus kuputus sendiri karna benang kasih telah ternodai kebohongan!harus kubasahi dengan airmata sebelum semua ku iklasnya,kalau apapun itu ,bukanlah milikku sejati! .......aku pasti bisa.......