Dia gadis lugu bernama Aning. Yang kini mulai beranjak ke masa remaja. Ayahnya sakit lumpuh bertahun-tahun. Yang diderita semasih Ia berumur 4 tahun yang silam. Sang Ayah adalah seorang pekerja keras, membantu pekerjaan keluargaku selama bertahun-tahun. Yang kemudian , akhirnya keluarga ini harus terlunta-lunta karna terpaksa merelakan harta bendanya untuk kesembuhan penyakit Sang Ayah tercinta.
Dulu..., semasa ujian tuhan mendera keluarganya. Aning masih belum mengerti benar apa arti semua itu. Dia masih tertawa-tawa saat berada di gendonganku. Hanya mempermainkan dan mengusap airmataku dengan tangan mungilnya. Di saat airmataku mengalir tak terduga di pipiku , kala aku memandang Ayahnya yang tak berdaya di tempat tidurnya dengan tatapan mata putus asa.
Kepedihan itu masih sangat membekas di hatiku. Aku turut merasakan kedukaannya. Apalagi Sang Ibu yang kemudian di gosipkan selingkuh dengan suami tetangga. Kehidupan keluarga ini semakin carut marut tak tersketsa. Aning sering datang ke rumahku, sekedar bilang " Mbak aku lapar.." Sambil mengacak-acak rambutnya yang kumal. Kusuapi dia dengan kasih sayang. Aku mandikan tubuh kurusnya dengan kelembutan. Mataku selalu basah bila menatap kebeningan telaga matanya yang jujur.
Hingga roda kehidupan juga menjungkir balikkan bahtera keluarga besarku. Hari-hariku pun ku rasa tak lebih baik dari kepedihan Aning. Aku tak lagi bisa menatap matanya. Karna aku sendiri susah payah menutupi mendung di mata dan hatiku. Berusaha agar orang lain jangan sampai menatap mataku, dan mendapati betapa keruh di dalamnya.
Kini Aning telah remaja. Dan aku mulai menua. Tak ada yang berubah dari hati masing-masing. Kehidupan yang juga terasa tak berbeda dari dulu. Simpati kami masih terasa walau mungkin Dia tak ingat masa-masa lampau itu.
Hanya saja, mungkin dia lebih kuat dariku. Karna ku rasa, aku mulai bercermin darinya. Setelah aku tahu, betapa gelombang pasang ujian kehidupannya seperti tak mau berhenti menghampiri dirinya. Dan mendamparkannya pada seonggok batu karang kehidupan yang tajam. Dan membuatnya kembali terpelanting, hingga hanya ada satu asa yang tertinggal di relungnya.
Musibah kembali mendera keluarga ini. Aning yang masih 16 tahun. Merasa perlu merubah nasibnya. Ia membulatkan tekadnya. Dan mengeraskan keberaniannya. Berbekal identitas yang di palsukan alias di tuakan umurnya, Ia ingin mengadu nasib ke luar negri. Seperti halnya diriku. Menjadi buruh migrant adalah pilihan. Damparan terakhir dari semua ketersudutan. Akhirnya masuklah Aning ke sebuah PJTKI lewat sponsor yang mengenalkannya. Ia pun mulai mengikuti karantina .
Hingga di suatu hari, saat mengikuti training masak di BLK. Aning mengikuti tutorial yang di ajarkan. Dengan bekal pengalaman yang hampir tak ada. Bahkan, Ia yang tak pernah mengenal macam-macam bentuk perabotan dapur modern. Sedikit membuatnya menyiapkan ingatan dan kejelian lebih tajam.
Namun malang tak dapat di tolak. Kala Ia mendapatkan piket dapur di suatu pagi. Aning melakukan kesalahan fatal yang mengakibatkan kompor gas yang di gunakannya itu meledak hebat. Dan sasaran utamanya adalah wajah Aning.
Luka bakar cukup berat di derita Aning. Setelah dua bulan di observasi di rumah sakit dengan biaya di tanggung PT di mana Ia kecelakaan. Kini Wajahnya menjadi cacat. Hidupnya semakin redup saja.
Saat ku katakan " Sabar ya Aning..". Dia hanya menjawab dengan senyum masam . " Kalau ada pilihan lain, tentu aku akan mengatakan, kalau aku sudah sangat bosan! bosan! dan teramat-amat bosan mendengar kata itu Mbak! tapi apakah aku mampu melawan takdir ini? aku hanya menunggu janji Allah yang mengajarkan sabar pada umatnya Mbak!" Tukasnya mengecam.
Pasrah adalah pilihan terakhirnya. Lambat laun Ia mulai bisa menerima keadaannya . Mengubur keinginanya untuk merubah nasib ke luarnegri. Karna impian itu hanya akan singgah di tidur siangnya.
Sekarang, aku yang justru masih di perantauan. Masih bingung menentukan jalan hidup di persimpangan. Sedangkan Dia yang selalu menutup wajah saat berjumpa tetangga, Ternyata telah menemukan pasangan hidup yang di kirim tuhan padanya. Aning menikah.
Saat menceritakan sekelumit kehidupan sederhananya. Ku lihat senyum tulus mengembang dari kedalaman hatinya. Dia telah menemukan arti "sabar" yang dulu pernah ingin di pungkirinya. " Sabar ya Mbak..!" Aning mengembalikan pinjaman kata-kataku dulu. Dan.. akhirnya Aku hanya mampu tertawa masam.
Aning...Kau tak punya matahari cerah! tapi kau punya pelangi yang indah..!
Sunday, May 3, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
5 comments:
lagi-lagi yuni bisa membuat sebuah cerita yang indah... salut se salut salut nya...
tak pernah mengeluh dalam cobaan...
graet story....thank's
terasa berat sekali untuk sekedar bersabar ketika semua masalah menimpaku karena aku tak pernah menoleh kanan kiriku, tapi kini aku merasa sangat kerdil, dan jauh lebih beruntung
nice sharing mbak, semoga dapat kuambil hikmahnya.
Wuuiihhh... lama banget ga ketemu......
mudah2an kabar baik yah ?
Whahahahah... NG-arransment dan nyanyiin ?? waaahh... ntar bisa amburadul tuh lagu kalau saya yang nyanyiin... kalau aransemen-nya saya bisa... cuman kalau nyanyinya.... saya ga siap yun....(emang ga bisa nyanyi)Btw... kamu makin keren ajah....
Post a Comment